Bahwa kehidupan janin (anak dalam kandungan) menurut pandangan
syariat Islam merupakan kehidupan yang harus dihormati, dengan
menganggapnya sebagai suatu wujud yang hidup yang wajib dijaga, sehingga
syariat memperbolehkan wanita hamil untuk berbuka puasa (tidak berpuasa)
pada bulan Ramadhan, bahkan kadang-kadang diwajibkan berbuka jika ia
khawatir akan keselamatan kandungannya.
Karena itu syariat Islam mengharamkan tindakan melampaui batas
terhadapnya, meskipun yang melakukan ayah atau ibunya sendiri yang telah
mengandungnya dengan susah payah. Bahkan terhadap kehamilan yang
haram --yang dilakukan dengan jalan perzinaan—janinnya tetap tidak boleh
digugurkan, karena ia merupakan manusia hidup yang tidak berdosa:
"... Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain ..."
(al-Isra': 15)
Selain itu, kita juga mengetahui bahwa syara' mewajibkan penundaan
pelaksanaan hukum qishash terhadap wanita hamil yang dijatuhi jenis
hukuman ini demi menjaga janinnya, sebagaimana kisah wanita al-
Ghamidiyah yang diriwayatkan dalam kitab sahih. Dalam hal ini syara'
memberi jalan kepada waliyul-amri (pihak pemerintah) untuk menghukum
wanita tersebut, tetapi tidak memberi jalan untuk menghukum janin yang
ada di dalam kandungannya.
Seperti kita lihat juga bahwa syara' mewajibkan membayar diat (denda)
secara sempurna kepada seseorang yang memukul perut wanita yang hamil,
lalu dia melahirkan anaknya dalam keadaan hidup, namun akhirnya mati
karena akibat pukulan tadi.
Ibnul Mundzir mengutip kesepakatan ahli ilmu mengenai masalah ini :
Sedangkan jika bayi itu lahir dalam keadaan mati, maka dia tetap dikenakan
denda karena kelengahannya (ghirrah), sebesar seperdua puluh diat.
Kita juga melihat bahwa syara' mewajibkan si pemukul membayar kafarat
-disamping diat dan ghirrah- yaitu memerdekakan seorang budak yang
beriman, jika tidak dapat maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut.
Bahkan hal itu diwajibkan atasnya, baik janin itu hidup atau mati.
Ibnu Qudamah berkata, "Inilah pendapat kebanyakan ahli ilmu, dan
pendapat ini juga diriwayatkan dari Umar r.a.. Mereka berdalil dengan firman
Allah:
"... dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (tidak
sengaja) hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman
serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari
kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si
pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si
terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka
dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba
sahaya yangmukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka
hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara
tobat kepada Allah; dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana." (an-Nisa': 92)
Mereka berkata, "Apabila wanita hamil meminum obat untuk
menggugurkan kandungannya, maka ia wajib membayar denda, tidak boleh
mewarisi sesuatu daripadanya (sebab orang yang membunuh tidak boleh
mewarisi sesuatu dari yang dibunuh), dan wajib memerdekakan seorang
budak. Denda tersebut hendaklah diberikan kepada ahli waris si janin.
Semua sanksi itu dikenakan padanya karena ia telah melakukan
perbuatan jahat yaitu menggugurkan janin. Sedangkan memerdekakan budak
merupakan kafarat bagi tindak kejahatannya. Demikian pula jika yang
menggugurkan janin itu ayahnya maka si ayah harus membayar denda, tidak
boleh mewarisi sesuatu daripadanya, dan harus memerdekakan budak.
Jika tidak mendapatkan budak (atau tidak mampu memerdekakan
budak), maka ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut, sebagai cara
tobat kepada Allah SWT.
Lebih dari itu adalah perkataan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla mengenai
pembunuhan janin setelah ditiupkannya ruh, yakni setelah kandungan
berusia seratus dua puluh hari, sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih.
Ibnu Hazm menganggap tindakan ini sebagai tindak kejahatan pembunuhan
dengan sengaja yang mewajibkan pelakunya menanggung segala risiko,
seperti hukum qishash dan lain-lainnya.
Beliau berkata: "Jika ada orang bertanya, 'Bagaimana pendapat Anda
mengenai seorang perempuan yang sengaja membunuh janinnya setelah
kandungannya berusia seratus dua puluh hari, atau orang lain yang
membunuhnya dengan memukul (atau tindakan apa pun) terhadap perut si
perempuan itu untuk membunuh si janin?'
Kami jawab bahwa sebagai hukumannya wajib dikenakan hukum
qishash, tidak boleh tidak, dan ia tidak berkewajiban membayar denda.
Kecuali jika dimaafkan, maka dia wajib membayar ghirrah atau denda saja
karena itu merupakan diat, tetapi tidak wajib membayar kafarat karena hal
itu merupakan pembunuhan dengan sengaja. Dia dikenakan hukuman
qishash karena telah membunuh suatu jiwa (manusia) yang beriman dengan
sengaja, maka menghilangkan (membunuh) jiwa harus dibalas dengan
dibunuh pula. Meski demikian, keluarga si terbunuh mempunyai dua
alternatif, menuntut hukum qishash atau diat, sebagaimana hukum yang
ditetapkan Rasulullah saw. terhadap orang yang membunuh orang mukmin.
Wa billahit taufiq."
Mengenai wanita yang meminum obat untuk menggugurkan
kandungannya, Ibnu Hazm berkata: "Jika anak itu belum ditiupkan ruh
padanya, maka dia (ibu tersebut) harus membayar ghirrah. Tetapi jika sudah
ditiupkan ruh padanya --bila wanita itu tidak sengaja membunuhnya-- maka
dia terkena ghirrah dan kafarat. Sedangkan jika dia sengaja membunuhnya,
maka dia dijatuhi hukum qishash atau membayar tebusan dengan hartanya
sendiri."
Janin yang telah ditiupkan ruh padanya, oleh Ibnu Hazm dianggap
sebagai sosok manusia, sehingga beliau mewajibkan mengeluarkan zakat
fitrah untuknya. Sedangkan golongan Hanabilah hanya memandangnya
mustahab, bukan wajib.
Semua itu menunjukkan kepada kita betapa perhatian syariat terhadap
janin, dan betapa ia menekankan penghormatan kepadanya, khususnya
setelah sampai pada tahap yang oleh hadits disebut sebagai tahapan annafkhu
fir-ruh (peniupan ruh). Dan ini merupakan perkara gaib yang harus
kita terima begitu saja, asalkan riwayatnya sah, dan tidak usah kita
memperpanjang pembicaraan tentang hakikatnya, Allah berfirman: "... dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit." (al-Isra': 85)
Saya kira, hal itu bukan semata-mata kehidupan yang dikenal seperti kita
ini, meskipun para pensyarah dan fuqaha memahaminya demikian. Hakikat
yang ditetapkan oleh ilmu pengetahuan sekarang secara meyakinkan ialah
bahwa kehidupan telah terjadi sebelum itu, hanya saja bukan kehidupan
manusia yang diistilahkan oleh hadits dengan "peniupan ruh." Hal ini
ditunjuki oleh isyarat Al- Qur'an: "Kemudian Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalam (tubuh)-nya ruh (ciptaan)-Nya ..." (as-Sajdah: 9)
Tetapi diantara hadits-hadits sahih terdapat hadits yang tampaknya
bertentangan dengan hadits Ibnu Mas'ud yang menyebutkan diutusnya
malaikat untuk meniup ruh setelah usia kandungan melampaui masa tiga kali
empat puluh hari (120 hari).
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari hadits Hudzaifah bin
Usaid, ia berkata: "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: "Apabila
nutfah telah berusia empat puluh dua malam, maka Allah mengutus
malaikat, lalu dibuatkan bentuknya, diciptakan pendengarannya,
penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian malaikat
bertanya, ra Rabbi, laki-laki ataukah perempuan?' Lalu Rabb-mu
menentukan sesuai dengan kehendak-Nya, dan malaikat menulisnya,
kemudian dia (malaikat) bertanya, Ya Rabbi, bagaimana ajalnya?' Lalu Rabbmu
menetapkan sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, dan malaikat
menulisnya. Kemudian ia bertanya, 'Ya Rabbi, bagaimana rezekinya?' Lalu
Rabb-mu menentukan sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, dan malaikat
menulisnya. Kemudian malaikat itu keluar dengan membawa lembaran
catatannya, maka ia tidak menambah dan tidak mengurangi apa yang
diperintahkan itu."
Hadits ini menjelaskan diutusnya malaikat dan dibuatnya bentuk bagi
nutfah setelah berusia enam minggu (empat puluh dua hari)6 bukan setelah
berusia seratus dua puluh hari sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu
Mas'ud yang terkenal itu. Sebagian ulama mengompromikan kedua hadits
tersebut dengan mengatakan bahwa malaikat itu diutus beberapa kali,
pertama pada waktu nutfah berusia empat puluh hari, dan kali lain pada
waktu berusia empat puluh kali tiga hari (120 hari) untuk meniupkan ruh.
Karena itu para fuqaha telah sepakat akan haramnya menggugurkan
kandungan setelah ditiupkannya ruh padanya. Tidak ada seorang pun yang
menentang ketetapan ini, baik dari kalangan salaf maupun khalaf. Adapun
pada tahap sebelum ditiupkannya ruh, maka diantara fuqaha ada yang
memperbolehkan menggugurkan kandungan sebelum ditiupkannya ruh itu,
sebagian saudara kita yang ahli kedokteran dan anatomi mengatakan,
"Sesungguhnya hukum yang ditetapkan para ulama yang terhormat itu
didasarkan atas pengetahuan mereka pada waktu itu. Andaikata mereka
mengetahui apa yang kita ketahui sekarang mengenai wujud hidup yang
membawa ciri-ciri keturunan (gen) kedua orang tuanya dan keluarganya serta
jenisnya, niscaya mereka akan mengubah hukum dan fatwa mereka karena
mengikuti perubahan 'illat (sebab hukum), karena hukum itu berputar
menurut 'illat-nya, pada waktu ada dan tidak adanya 'illat.
Diantara kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya ialah bahwa di
kalangan ahli kandungan dan anatomi sendiri terdapat perbedaan pendapat
--sebagaimana halnya para fuqaha-- di dalam menetapkan kehidupan janin
pada tahap pertama: sebelum berusia 42 hari dan sebelum 120 hari.
Perbedaan diantara mereka ini juga memperkokoh perbedaan pendapat para
fuqaha mengenai janin sebelum berusia 40 hari dan sebelum 120 hari.
Barangkali ini merupakan rahmat Allah kepada manusia agar udzur dan
darurat itu mempunyai tempat. Maka tidak apalah apabila saya sebutkan
sebagian dari perkataan fuqaha mengenai persoalan ini:
Syekhul Islam al-Hafizh Ibnu Hajar didalam Fathul-Bari menyinggung
mengenai pengguguran kandungan setelah membicarakan secara panjang
lebar mengenai masalah 'azl mencabut zakar untuk menumpahkan sperma di
luar vagina pada waktu ejakulasi) serta perbedaan pendapat ulama tentang
boleh dan tidaknya melakukan hal itu, yang pada akhirnya beliau cenderung
memperbolehkannya karena tidak kuatnya dalil pihak yang melarangnya.
Beliau berkata: "Dan terlepas dari hukum 'azl ialah hukum wanita
menggunakan obat untuk menggugurkan (merusak) nutfah (embrio)
sebelum ditiupkannya ruh. Barangsiapa yang mengatakan hal ini terlarang,
maka itulah yang lebih layak; dan orang yang memperbolehkannya, maka hal
itu dapat disamakan dengan 'azl. Tetapi kedua kasus ini dapat juga
dibedakan, bahwa tindakan perusakan nutfah itu lebih berat, karena 'azl itu
dilakukan sebelum terjadinya sebab (kehidupan), sedangkan perusakan
nutfah itu dilakukan setelah terjadinya sebab kehidupan (anak).
Sementara itu, diantara fuqaha ada yang membedakan antara kehamilan
yang berusia kurang dari empat puluh hari dan yang berusia lebih dari empat
puluh hari. Lalu mereka memperbolehkan menggugurkannya bila belum
berusia empat puluh hari, dan melarangnya bila usianya telah lebih dari
empat puluh hari. Barangkali yang menjadi pangkal perbedaan pendapat
mereka adalah hadits Muslim yang saya sebutkan di atas.
Didalam kitab Nihayah al-Muhtaj, yang termasuk kitab mazhab Syafi'i,
disebutkan dua macam pendapat para ahli ilmu mengenai nutfah sebelum
genap empat puluh hari:
"Ada yang mengatakan bahwa hal itu tidak dapat dihukumi sebagai
pengguguran dan pembunuhan. Ada pula yang mengatakan bahwa nutfah
harus dihormati, tidak boleh dirusak, dan tidak boleh melakukan upaya
untuk mengeluarkannya setelah ia menetap di dalam rahim (uterus). Diantara
fuqaha ada pula yang membedakan antara tahap sebelum penciptaan janin
dan tahap sesudah penciptaan (pembentukan). Lalu mereka
memperbolehkan aborsi(pengguguran) sebelum pembentukan dan
melarangnya setelah pembentukan.
Didalam an-Nawadir, dari kitab mazhab Hanafi, disebutkan, "Seorang
wanita yang menelan obat untuk menggugurkan kandungannya, tidaklah
berdosa asalkan belum jelas bentuknya.”
Didalam kitab-kitab mereka juga mereka ajukan pertanyaan: bolehkah
menggugurkan kandungan setelah terjadinya kehamilan? Mereka menjawab:
Boleh, asalkan belum berbentuk. Kemudian di tempat lain mereka berkata,
"Tidaklah terjadi pembentukan (penciptaan) melainkan setelah kandungan
itu berusia seratus dua puluh hari. "
Banyak di antara ulama mereka yang membolehkan pengguguran seperti
itu bila alasannya adalah kemashlahatan yang lebih besar, bukan karena malu
hamil di luar nikah.
Menurut pendapat ulama Hanafi, kemashlahatan anak bayi yang telah
dilahirkan adalah lebih besar, karena bayi itu masih sangat membutuhkan
perawatan dan pemeliharaan secara intensif oleh ibunya. Bila si ibu harus
hamil lagi, maka hak-hak bayi itu menjadi hilang. Atau dalam kasus dimana
kehamilan itu membahayakan nyawa si ibu seperti bila kelahiran sebelumnya
dengan car pembedahan yang tidak memungkinkan seorang wanita segera
hamil lagi setelah itu.
Atau karena masalah penyakit yang bakal diidap oleh bayi karena
penyakit genetis dan seterusnya, maka pendapat yang membolehkan itu
memang ada.
Dalilnya lebih banyak menggunakan menggunakan kaidah : mengambil
resiko yang paling ringan (Akhaffudh-dhararain). Muhaqqiq (ulama ahli
menetapkan hukum) mazhab Hanafi, al-Kamal bin al-Hammam, berkata,
"Ini berarti bahwa yang mereka maksud dengan penciptaan atau
pembentukan itu ialah ditiupkannya ruh, sebab jika tidak demikian berarti
keliru, karena pembentukan itu telah dapat disaksikan sebelum waktu itu.
Perkataan al-Allamah (al-Kamal) ini adalah benar, diakui oleh ilmu
pengetahuan sekarang.
Sedangkan pernyataan mereka yang mutlak itu memberi pengertian
bahwa kebolehan menggugurkan kandungan itu tidak bergantung pada izin
suami. Hal ini dinyatakan di dalam kitab ad-Durrul Mukhtar: "Mereka
berkata, 'Diperbolehkan menggugurkan kandungan sebelum berusia empat
bulan, meskipun tanpa izin suami.'"
Namun demikian, diantara ulama Hanafiyah ada yang menolak hukum
yang memperbolehkan pengguguran secara mutlak itu, mereka berkata,
"Saya tidak mengatakan halal, karena orang yang sedang ihram saja apabila
memecahkan telur buruan itu harus menggantinya, karena itulah hukum asal
mengenai pembunuhan. Kalau orang yang melakukan ihram saja dikenakan
hukuman pembalasan, maka tidak kurang dosanya bagi orang yang
menggugurkan kandungan tanpa udzur."
Diantara mereka ada pula yang mengatakan makruh, karena air sperma)
setelah masuk ke rahim belumlah hidup tapi mempunyai hukum sebagai
manusia hidup, seperti halnya telur binatang buruan pada waktu ihram.
Karena itu ahli tahqiq mereka berkata, "Maka kebolehan menggugurkan
kandungan itu harus diartikan karena dalam keadaan udzur, atau dengan
pengertian bahwa ia tidak berdosa seperti dosanya membunuh. Akan tetapi,
kebanyakan ulama menentang pendapat ini dan tidak memperbolehkan
pengguguran, meskipun sebelum ditiupkannya ruh.
Hal ini disebabkan adanya segolongan ulama yang melarang 'azl dan
mereka anggap hal ini sebagai "pembunuhan terselubung" sebagaimana
disebutkan dalam beberapa hadits. Mereka beralasan bahwa 'azl berarti
menghalangi sebab-sebab kehidupan untuk menuju realitas atau
perwujudannya. Karena itu mereka melarang menggugurkan kandungan dan
mengharamkannya dengan jalan qiyas aulawi (maksudnya, kalau 'azl saja
terlarang, maka pengguguran lebih terlarang lagi), karena sebab-sebab
kehidupan disini telah terjadi dengan bertemunya sperma laki-laki dengan sel
telur perempuan dan terjadinya pembuahan yang menimbulkan wujud
makhluk baru yang membawa sifat-sifat keturunan yang hanya Allah yang
mengetahuinya.
Tetapi ada juga ulama-ulama yang memperbolehkan 'azl karena alasanalasan
yang berhubungan dengan ibu atau anaknya (yang baru dilahirkan),
atau bisa juga karena pertimbangan keluarga untuk kebaikan pendidikan
anak-anak, atau lainnya. Namun demikian, mereka tidak memperbolehkan
aborsi (pengguguran) dan menyamakannya dengan pembunuhan
terselubung, meskipun tingkat kejahatannya berbeda. Diantara yang
berpendapat begitu ialah Imam al-Ghazali. Saya lihat beliau --meskipun
beliau memperbolehkan 'azl dengan alasan-alasan yang akurat menurut
beliau-- membedakan dengan jelas antara menghalangi kehamilan dengan
'azl dan menggugurkan kandungan setelah terwujud, dengan mengatakan:
"Hal ini --mencegah kehamilan dengan 'azl-- tidak sama dengan
pengguguran dan pembunuhan terselubung; sebab yang demikian
(pengguguran dan pembunuhan terselubung) merupakan tindak kejahatan
terhadap suatu wujud yang telah ada, dan wujud itu mempunyai beberapa
tingkatan. Tingkatan yang pertama ialah masuknya nutfah (sperma) ke dalam
rahim, dan bercampur dengan air (mani) perempuan (ovum), serta siap
untuk menerima kehidupan. Merusak keadaan ini merupakan suatu tindak
kejahatan. Jika telah menjadi segumpal darah atau daging, maka kejahatan
terhadapnya lebih buruk lagi tingkatannya. Jika telah ditiupkan ruh padanya
dan telah sempurna kejadiannya, maka tingkat kejahatannya bertambah
tinggi pula. Dan sebagai puncak kejahatan terhadapnya ialah membunuhnya
setelah ia lahir dalam keadaan hidup. Perlu diperhatikan, bahwa Imam al-
Ghazali rahimahullah menganggap pengguguran sebagai tindak kejahatan
terhadap wujud manusia yang telah ada, tetapi beliau juga menganggap
pertemuan sperma dengan ovum sebagai "siap menerima kehidupan.
Nah, bagaimanakah persepsi beliau seandainya beliau tahu apa yang kita
ketahui sekarang bahwa kehidupan telah terjadi semenjak bertemunya sel
sperma laki-laki dengan sel telur wanita? Karena itu saya katakan, "Pada
dasarnya hukum aborsi adalah haram, meskipun keharamannya bertingkattingkat
sesuai dengan perkembangan kehidupan janin."
Pada usia empat puluh hari pertama tingkat keharamannya paling ringan,
bahkan kadang-kadang boleh digugurkan karena udzur yang muktabar
(akurat); dan setelah kandungan berusia diatas empat puluh hari maka
keharaman menggugurkannya semakin kuat, karena itu tidak boleh
digugurkan kecuali karena udzur yang lebih kuat lagi menurut ukuran yang
ditetapkan ahli fiqih.
Keharaman itu bertambah kuat dan berlipat ganda setelah kehamilan
berusia seratus dua puluh hari, yang oleh hadits diistilahkan telah memasuki
tahap peniupan ruh.
Dalam hal ini tidak diperbolehkan menggugurkannya kecuali dalam
keadaan benar-benar sangat darurat, dengan syarat kedaruratan yang pasti,
bukan sekadar persangkaan. Maka jika sudah pasti, sesuatu yang
diperbolehkan karena darurat itu harus diukur dengan kadar kedaruratannya.
Menurut pendapat saya, kedaruratan disini hanya tampak dalam satu
bentuk saja, yaitu keberadaan janin apabila dibiarkan akan mengancam
kehidupan si ibu, karena ibu merupakan pangkal/asal kehidupan janin,
sedangkan janin sebagai fara' cabang). Maka tidak boleh mengorbankan yang
asal (pokok) demi kepentingan cabang. Logika ini disamping sesuai dengan
syara' juga cocok dengan akhlak etika kedokteran, dan undang-undang.
Tetapi ada juga diantara fuqaha yang menolak pendapat itu dan tidak
memperbolehkan tindak kejahatan (pengguguran) terhadap janin yang hidup
dengan alasan apa pun. Didalam kitab-kitab mazhab Hanafi disebutkan:
"Bagi wanita hamil yang posisi anak didalam perutnya melintang dan
tidak mungkin dikeluarkan kecuali dengan memotong-motongnya, yang
apabila tidak dilakukan tindakan seperti ini dikhawatirkan akan
menyebabkan kematian si ibu ... mereka berpendapat, 'Jika anak itu sudah
dalam keadaan meninggal, maka tidak terlarang memotongnya; tetapi jika
masih hidup maka tidak boleh memotongnya karena menghidupkan suatu
jiwa dengan membunuh jiwa lain tidak ada keterangannya dalam syara'.
Meskipun demikian, dalam hal ini sebenarnya terdapat peraturan syara',
yaitu memberlakukan mana yang lebih ringan mudaratnya dan lebih kecil
mafsadatnya.
Sementara itu, sebagian ulama masa kini membuat gambaran lain dari
kasus di atas, yaitu: Adanya ketetapan secara ilmiah yang menegaskan bahwa
janin --sesuai dengan sunnah Allah Ta'ala-- akan menghadapi kondisi yang
buruk dan membahayakan, yang akan menjadikan tersiksanya kehidupannya
dan keluarganya, sesuai dengan kaidah: "Bahaya itu ditolak sedapat
mungkin."
Tetapi hendaknya hal ini ditetapkan oleh beberapa orang dokter, bukan
cuma seorang.
Pendapat yang kuat menyebutkan bahwa janin setelah genap berusia
empat bulan adalah manusia hidup yang sempurna. Maka melakukan tindak
kejahatan terhadapnya sama dengan melakukan tindak kejahatan terhadap
anak yang sudah dilahirkan.
Adalah merupakan kasih sayang Allah bahwa janin yang mengalami
kondisi yang sangat buruk dan membahayakan biasanya tidak bertahan
hidup setelah dilahirkan, sebagaimana sering kita saksikan, dan sebagaimana
dinyatakan oleh para spesialisnya sendiri.
Hanya saja para dokter sering tidak tepat dalam menentukannya.
Saya kemukakan disini suatu peristiwa yang saya terlibat didalamnya,
yang terjadi beberapa tahun silam. Yaitu ada seorang teman yang berdomisili
di salah satu negara Barat meminta fatwa kepada saya sehubungan para
dokter telah menetapkan bahwa janin yang dikandung istrinya --yang berusia
lima bulan-- akan lahir dalam kondisi yang amat buruk. Ia menjelaskan
bahwa pendapat dokter-dokter itu hanya melalui dugaan yang kuat, tidak
ditetapkan secara meyakinkan.
Maka jawaban saya kepadanya, hendaklah ia bertawakal kepada Allah
dan menyerahkan ketentuan urusan itu kepadaNya, barangkali dugaan
dokter itu tidak tepat. Tidak terasa beberapa bulan berikutnya saya menerima
sehelai kartu dari Eropa yang berisi foto seorang anak yang molek yang
disertai komentar oleh ayahnya yang berbunyi demikian:
"Pamanda yang terhormat, Saya berterima kasih kepadamu sesudah
bersyukur kepada Allah Ta'ala, bahwa engkau telah menyelamatkanku
(keluargaku) dari pisau para dokter bedah. Fatwamu telah menjadi sebab
kehidupanku, karena itu saya tidak akan melupakan kebaikanmu ini selama
saya masih hidup." Kemajuan ilmu kedokteran sekarang telah mampu
mendeteksi kerusakan (cacat) janin sebelum berusia empat bulan sebelum
mencapai tahap ditiupkannya ruh. Namun demikian, tidaklah dipandang
akurat jika dokter membuat dugaan bahwa setelah lahir nanti si janin (anak)
akan mengalami cacat --seperti buta, tuli, bisu-- dianggap sebagai sebab yang
memperbolehkan digugurkannya kandungan. Sebab cacat-cacat seperti itu
merupakan penyakit yang sudah dikenal di masyarakat luas sepanjang
kehidupan manusia dan disandang banyak orang, lagi pula tidak menghalangi
mereka untuk bersamasama orang lain memikul beban kehidupan ini.
Bahkan manusia banyak yang mengenal (melihat) kelebihan para
penyandang cacat ini, yang nama-nama mereka terukir dalam sejarah.
Selain itu, kita tidak boleh mempunyai keyakinan bahwa ilmu
pengetahuan manusia dengan segala kemampuan dan peralatannya akan
dapat mengubah tabiat kehidupan manusia yang diberlakukan Allah sebagai
ujian dan cobaan:
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan setetes mani yang
bercampur yang Kami hendak mengujinya ..." (al-Insan: 2) "Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah." (al-Balad: 4)
Sesungguhnya ilmu pengetahuan dan teknologi pada zaman kita sekarang
ini telah turut andil dalam memberikan pelajaran kepada orang-orang cacat
untuk meraih keberuntungan, sebagaimana keduanya telah turut andil untuk
memudahkan kehidupan mereka. Dan banyak diantara mereka (orang-orang
cacat) yang turut menempuh dan memikul beban kehidupan seperti orangorang
yang normal. Lebih-lebih dengan sunnah-Nya Allah mengganti
mereka dengan beberapa karunia dan kemampuan lain yang luar biasa.
Allah berfirman dengan kebenaran, dan Dia-lah yang memberi petunjuk
ke jalan yang lurus. Wallahu a`lam bisshawab