Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif
(eutanasia negatif) sebagaimana dikemukakan dalam pertanyaan,
maka semua itu --baik dalam contoh nomor satu maupun
nomor dua-- berkisar pada "menghentikan pengobatan" atau
tidak memberikan pengobatan. Hal ini didasarkan pada
keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak
ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit,
sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam
semesta) dan hukum sebab-akibat.
Diantara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama
syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak
wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam
mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini
hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya
segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan
oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad
sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah
dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang
lebih utama: berobat ataukah bersabar? Diantara mereka ada
yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih
59
utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam
kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi.
Wanita itu meminta kepada Nabi saw. agar mendoakannya, lalu
beliau menjawab:
"'Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan
mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan
kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.' Wanita itu
menjawab, aku akan bersabar. 'Sebenarnya saya tadi ingin
dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada
Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.' Lalu
Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan
penyakitnya."
Disamping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan
sahabat dan tabi'in yang tidak berobat ketika mereka sakit,
bahkan diantara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai
bin Ka'ab dan Abu Dzar radhiyallahu'anhuma. Namun
demikian, tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau
berobat itu.
Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah
menyusun satu bab tersendiri dalam "Kitab at-Tawakkul" dari
Ihya' Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat
bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.
Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat
atau pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar diantara
mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya
mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi --lebih sedikit dari
golongan kedua-- berpendapat wajib.
Dalam hal ini kami sependapat dengan golongan yang
mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh,
dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah
Ta'ala.
Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa
berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di
60
dalam kitabnya Zadul-Ma'ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi
saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya
mustahab atau wajib apabila penderita dapat diharapkan
kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan
sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebabakibat
yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya --yaitu
para dokter-- maka tidak ada seorang pun yang mengatakan
mustahab berobat, apalagi wajib.
Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara
pengobatan --dengan cara meminum obat, suntikan, diberi
makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat
pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu
kedokteran modern-- dalam waktu yang cukup lama, tetapi
penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan
pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan
mungkin kebalikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang
wajib atau mustahab.
Maka memudahkan proses kematian (taisir al-maut) --kalau
boleh diistilahkan demikian-- semacam ini tidak seyogyanya
diembel-embeli dengan istilah qatl ar-rahmah (membunuh
karena kasih sayang), karena dalam kasus ini tidak didapati
tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan
sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak
dikenai sanksi.
Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan
syara' --bila keluarga penderita mengizinkannya-- dan dokter
diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan
keluarganya, insya Allah.