Mengingat kondisi darurat, kebutuhan dan kompleksitas
dimensi masalah serta keterbasan jaringan/organ transplan yang
layak, maka menurut hemat saya semua kasus yang
diperbolehkan di ataspun dalam prakteknya harus dilakukan
dengan ketentuan skala prioritas sebagai berikut :
- I. Segi Resipien atau Reseptor harus diperhatikan hal-hal berikut untuk didahulukan antara lain: 1. Keyakinan agamanya (QS. Al Hujurat: 1, Ali Imran: 28, Al Mumtahanah: 8). 2. Peranan, Jasa atau kiprahnya dalam kehidupan umat. (QS. Shaad: 28) 3. Kesholehan, ketaatan dan pengetahuannya ttg ajaran Islam. (Al Mujadalah: 11) 4. Hubungan kekerabatan dan tali silatur rahmi ( QS. Al Ahzab: 6) 5. Tingkatan kebutuhan dan kondisi gawat daruratnya dengan melihat persediaan. II. Segi Donor juga harus diperhatikan ketentuan berikut dalam prioritas pengambilan: Menanam jaringan/organ imitasi buatan bila memungkinkan secara medis. Mengambil jaringan/organ dari tubuh orang yang sama selama memungkinkan karena dapat tumbuh kembali seperti, kulit dan lainnya. Mengambil dari organ/jaringan binatang yang halal, adapun binatang lainnya dalam kondisi gawat darurat dan tidak ditemukan yang halal. Dalam sebuah riwayat atsar disebutkan: “Berobatlah wahai hamba-hamba Allah, namun janganlah berobat dengan barang haram.” Tetapi dalam kondisi ‘darurat syar’i’ sebagaimana dalam kaedah fiqh disebutkan “Adh Dharurat Tubihul Mahdhuraat” (darurat membolehkan pemanfaatan hal yang haram) atau kaedah “Adh Dhararu Yuzaal” (Bahaya harus dihilangkan) yang mengacu pada ayar dharurat seperti surat Al Maidah: 3 maka boleh memanfaatkan barang haram dengan sekedar kebutuhan dan tidak boleh berlebihan dan jadi kebiasaan sebab dalam kaedah fiqh dijelaskan “Adh Dharurat Tuqaddar Biqadarihaa” (Peertimbangan Kondisi Darurat Harus Dibatasi Sekedarnya) sebagaimana mengacu pada batasan dalam ayat darurat tersebut diatas; fii makhmashah ghaira mutajanifin lill itsmi (karena kondisi ‘kelaparan’ tanpa sengaja berbuat dosa) atau dalam surat Al Baqarah: 173 dibatasi; famanidh dhuturra ghaira baaghin walaa ‘aadin falaa itsma ‘alaih (Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa/darurat sedang ia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya). 4. Mengambil dari tubuh orang yang mati dengan ketentuan seperti penjelasan di atas. 5. Mengambil dari tubuh orang yang masih hidup dengan ketentuan seperti diatas disamping orang tersebut adalah mukallaf ( baligh dan berakal ) dengan kesadaran, pengertian, suka rela atau tanpa paksaan. Wallahu A'lam Bissawab