Perkembangan Literatur Madzhab Imam Syafi’i Dari Masa Ke Masa



Oleh : Al Murtadho


Bismillahirrahmanirrahim.

Mengkaji literatur Fiqh bukan saja membutuhkan kesabaran, akan tetapi juga kemampuan dan keuletan. Mengapa? Ya, karena seorang bahits (pembahas) di samping harus mengetahui kitab-kitab primer fiqh yang sedang dikajinya, juga terlebih dahulu ia harus memahami dan menguasai paling tidak seluk beluk dasar dari madzhab fiqh yang sedang dibahasnya. Belum lagi ia harus mengetahui buku-buku yang termasuk kategori awwalun, mutawasithun, dan muta’akhirun. Hal ini penting, mengingat umumnya kitab-kitab literatur fiqh satu sama lain saling berkaitan erat.

Ketika anda mendapatkan sebuah syarah atau hasyiyah atau mukhtashar dari salah satu kitab, tidak berarti bahwa itu semua tidak berarti dan tidak penting. Banyaknya hasyiyah dan syarah, hakikatnya semakin menambah beban seorang bahis, lantaran satu syarah dan hasyiyah dengan yang lainnya tentu sangat berbeda dan mempunyai penekanan tersendiri. Semua ini hanya bisa dipahami tentunya oleh mereka yang telah lama ‘bersentuhan’ dengan literatur dimaksud. Karena banyaknya hal yang harus dikuasai dengan baik oleh seorang bahits inilah, banyak kalangan fiqh sendiri mengatakan bahwa hakikatnya mengkaji literatur turats tidaklah gampang. Masih lebih mudah mengkaji buku-buku kontemporer ketimbang buku-buku turats.

Pendapat ini tentu tidak berlebihan sekaligus tidak berarti tidak dapat diobati. Kita semua tentu dapat mengkajinya dengan baik selama ada kerja keras dan kemauan serta kesabaran. Dalam rangka upaya memahami literatur inilah, makalah ini sengaja kami sodorkan ke hadapan pembaca. Makalah ini tentu bukan satu-satunya rujukan yang sudah disegel kebenarannya. Sekali lagi tidak. Masih banyak kekurangan dan boleh jadi kekeliruan di dalamnya. Hanya saja, paling tidak, semoga makalah ini menjadi jembatan pertama yang menghubungkan anda dengan dunia literatur fiqh khususnya madzhab Syafi’i.

Pada awalnya, tema yang disodorkan kepada kami bersifat umum yakni turats fiqh. Akan tetapi kami melihat, bagaimana dapat menyodorkan literatur fiqh yang bejibun, dalam beberapa madzhab, hanya dalam waktu dua setengah jam. Oleh karena itu, kami berinisiatif untuk membatasi diri pada kajian fiqh Madzhab Syafi’i, mengingat madzhab inilah yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Untuk bahasan madzhab-madzhab fiqh lainnya semoga dapat kita bahas bersama dalam kesempatan yang lain.

Paling tidak, hemat kami, untuk mengkaji fiqh satu madzhab, baik Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun Hanbali dibutuhkan tiga kali pertemuan (satu paket) masing-masing dengan durasi minimal 2 jam. Ketiga pertemuan dimaksud pertama, untuk mengkaji seputar perkembangan awal sekaligus pendiri dari madzhab bersangkutan (tingkat dasar), dilanjutkan dengan mengkaji buku-buku primer sekaligus takhrij masail fiqhiyyah antara pendapat Syafi’i dengan Syafi’iyyah, misalnya. Dan terakhir, mengkaji ushul, metode istinbath hukum serta qawaid-qawaid istinbath yang digunakan madzhab tersebut ditambah dengan analisa. Analisa ini sangat diperlukan agar terhindar dari pengelu-eluan turats yang berlebihan sehingga, dalam istilah Ali Jum’ah tidak qabul wujdany, menerima secara membabi buta, juga sebaliknya tidak rafdh wujdany, menolak mentah-mentah.

Tulisan kali ini, tentu tidak akan dapat menjawab ketiga hal di atas. Paling tidak, tulisan ini mencoba menjawab salah satunya—disesuaikan dengan tema dari tulisan ini—yakni untuk mengetahui kitab-kitab primer apa yang harus dipakai dan dijadikan maraji’ oleh mereka yang hendak mengkaji madzhab Syafi’i. Itu saja, tujuan utama dari penulisan makalah ini. Hal ini penting, mengingat belakangan ini seringkali para bahits mengkaji dan menulis fiqh Syafi’i akan tetapi bukan dari sumber primernya. Yang terjadi, tentu hasil dari penelitian dimaksud tidak dapat diterima dan tidak dapat dipandang sah secara ilmiah. Bagaimana mengatakan itu adalah pendapat Imam Syafi’i apabila yang dijadikan maraji’nya adalah kitab Mughnil Muhtaj karya al-Khatib Syarbiny, misalnya. Atau bagaimana dipandang sah apabila mengatakan bahwa pendapat ashhab Syafi’i begini atau begitu sementara kitab yang dijadikan pegangannya adalah kitab Safinatun Najah. Untuk itu, semoga tulisan ini dapat menjadi bekal bagi para pembaca dalam rangka studi literatur primer fiqh Madzhab Syafi’i.

Semoga dalam dokumen lainnya yang belum dibahas serta studi literatur madzhab-madzhab fiqh lainnya dapat kita bahas bersama dalam lain waktu dan lain kesempatan. Sebelum lebih lanjut kami mengajak pembaca pada bahasan inti, perlu kami kemukakan terlebih dahulu bahwa untuk biografi singkat pendiri Madzhab Syafi’i yaitu Imam Syafi’i dan sejarah tumbuh dan berkembangnya Madzhab Syafi’i, dapat dilihat dalam kerangka atau bagan yang sengaja kami lampirkan. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan waktu dan makalah. Apabila dicantumkan, tentu akan merepotkan tim, mengingat kemungkinan besar dokumen akan menjadi sangat panjang.

Akhirnya, semoga tulisan kecil ini bermanfaat khususnya bagi kami sendiri dan umumnya bagi para pembaca semua. Semua kesalahan dan kekurangan tentu datang dari penulis sendiri, sementara kebenaran datang dari Allah dan RasulNya. Hanya kepada Allah kita bergantung dan mengabdi, dan hanya kepadaNya jualah kita akan kembali. Selamat mengikuti.

Literatur kitab-kitab Fiqh dalam Madzhab Syafi’i

Dibandingkan dengan madzhab-madzhab fiqih lainnya, madzhab Syafi’i tentu merupakan madzhab yang paling banyak kitab-kitab fiqhnya. Saking banyaknya kitab-kitab fiqh Syafi’i ini, tidak ada seorang ulama pun yang dapat menghitungnya termasuk anda sendiri. Tidak percaya? Coba sesekali anda main ke maktabah-maktabah dan minta dikumpulkan kitab-kitab fiqh Syafi’i, kemungkinan besar buku-buku dimaksud akan menghabiskan setengahnya bahkan lebih dari isi maktabah tersebut. Banyaknya kitab-kitab ini, tentu disamping berkat jerih payah murid-murid dan ulama Syafi’iyyah, juga hemat kami, karena kitab-kitab fiqh Madzhab Syafi’i ini satu sama lain saling berkaitan dan bersambung. Untuk lebih jelasnya, berikut kami kemukakan keterkaitan dan kebersambungan kitab-kitab dimaksud.

Buku pertama dalam madzhab Syafi’i adalah kitab al-Umm karya Imam Syafi’i (w 150H) sendiri. Pada masa berikutnya, kitab al-Umm ini diringkas oleh muridnya yang bernama Imam al-Muzanni (w 264 H) dalam kitabnya berjudul Mukhtashar al-Muzani. Tidak lama kemudian, kitab Mukhtashar al-Muzanni ini disyarah oleh Imam al-Haramain al-Juwaini (w 478 H) dalam Nihayatul Mathlab fi Dirayah al-Madzhab. Selang beberapa lama karya Imam Juwaini ini diringkas oleh muridnya Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam bukunya al-Basith. Tidak puas dengan al-Basith, Imam Ghazali meringkasnya menjadi al-Wasith, kemudian al-Wasith diringkas juga dalam kitabnya yang lain berjudul al-Wajiz dan terakhir, buku al-Wajiz ini diringkas lagi dalam kitabnya al-Khulashah.

Setelah itu datang Imam ar-Raf’i (w 624 H) meringkas al-Wajiz karya Imam al-Ghazali tadi menjadi al-Muharrar. Selang beberapa lama, datang Imam Nawawi (w 676 H), meringkas kitab al-Muharrar dalam karyanya Minhajut Thalibin yang kemudian menjadi pegangan utama para ulama Syafi’iyyah dalam berijtihad dan berfatwa. Tidak lama kemudian, kitab Minhajut Thalibin ini diringkas oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dalam kitabnya al-Manhaj. Kitab al-Manhaj ini lalu diringkas oleh Imam al-Jauhari menjadi an-Nahj.

Imam ar-Rafi’i kemudian mensyarah kitab al-Wajiz karya Imam Ghazali dalam dua buah karyanya yakni asy-Syarh as-Shagir, namun tidak diberi nama dan dalam asy-Syarh al-Kabir yang diberi nama dengan al-’Aziz. Kemudian Imam Nawawi meringkas buku al-Aziz karya Imam Rafi’i tadi menjadi ar-Raudhah (lengkapnya Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin), lalu Ibnu Maqarra meringkas ar-Raudah menjadi ar-Raudh. Imam Zakaria al-Anshari kemudian mensyarah kitab ar-Raudh ini dalam karyanya berjudul al-Asna.

Setelah itu, datang Ibnu Hajar al-Haitami (w 974 H) meringkas kitab ar-Raudh ini dalam karyanya berjudul an-Na’im. Kitab ar-Raudhah juga diringkas oleh Ahmad bin Umar al-Muzjid az-Zabidi dalam karyanya berjudul al-’Ibab, kemudian Ibn Hajar al-Haitami mensyarahnya menjadi al-I’ab hanya saja tidak sampai akhir. Imam Suyuthi juga meringkas kitab ar-Raudah ini dalam karyanya berjudul al-Ghunyah, dan mengumpulkannya menjadi kumpulan nadham dalam karyanya berjudul al-Khulashah, akan tetapi tidak sampai selesai. Imam al-Qazuwaini kemudian meringkas buku al-Aziz karya Imam Rafi’i dalam karyanya berjudul al-Hawi ash-Shagir, kemudian dikumpulkan dalam nadham-nadham oleh Ibn al-Wardi dalam karyanya berjudul al-Buhjah. Lalu kitab al-Buhjah ini disyarah oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari dengan dua syarah (hanya tidak disebutkan nama syarah ini). Kemudian datang Ibnu al-Maqarri meringkas kitab al-Hawi ash-Shagir menjadi al-Irsyad, lalu al-Irsyad ini disyarah oleh Ibn Hajar al-Haitami dalam dua syarah. Setelah masa Ibnu Hajar al-Haitami ini baru bermunculan kitab-kitab berupa hasyiyah dari kitab-kitab sebelumnya.

Dari penjelasan di atas, nampak sangat jelas bagaimana keterkaitan dan ketersambungan kitab-kitab fiqh madzhab Syafi’i ini antara satu dengan yang lainnya. Inilah yang kemudian menyebabkan kitab-kitab fiqh Madzhab Syafi’i ini lebih banyak bila dibandingkan dengan madzhab fiqh lainnya. Dengan saling keterkaitannya antara satu kitab dengan yang lainnya juga menyebabkan cara penempatan bab-bab fiqh dalam kitab-kitab fiqh Syafi’i menjadi sangat berdekatan dan hampir sama. Coba anda perhatikan bagaimana bab-bab yang disusun dalam kitab al-Umm hampir sama penempatannya dengan kitab Minhajut Thalibin atau syarahnya.

Apabila melihat kitab-kitab Madzhab Syafi’i sebagaimana telah kami tuturkan di atas, tentu anda akan sangat sulit dan bingung dalam mendudukan kitab-kitab tersebut. Nah, untuk lebih memudahkan, berikut ini kami mencoba membagi kitab-kitab madzhab Syafi’i ini dalam beberapa kelompok sesuai dengan apa yang telah penulis jelaskan dalam bahasan periodisasi perkembangan madzhab Syafi’i .

Dengan dasar periodisasi perkembangan madzhab Syafi’i, kami mencoba membagi kitab-kitab fiqh madzhab Syafi’i ini ke dalam tujuh kelompok. Pengelompokan ini diawali dari sejak awal berdirinya madzhab tersebut sampai masa paling akhir dan modern belakangan ini. Ketujuh pengelompokan dimaksud adalah:

1.   Karya-karya Imam Syafi’I

2.  Karya-karya Ulama Syafi’iyyah generasi pertama

3.   Karya-karya ulama Syafi’iyyah generasi kedua

4.   Karya-karya yang berkaitan dengan fiqih muqaran

5.   Karya-karya yang membahas tema-tema tertentu dan khusus

6.   Karya-karya yang tidak termasuk salah satu dari lima kelompok di atas

7.   Karya-karya Madzhab Syafi’i belakangan

Untuk lebih jelasnya, berikut ini penjelasan ketujuh kelompok dimaksud:

1. Karya-karya Imam Syafi’i .

Berikut ini karya-karya Imam Syafi’i yang disusun ketika beliau berada di Mesir:

1. Kitab al-Umm

2. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wabni Abi Laila

3. Kitab Ikhtilaf Ali wa Abdillah bin Mas’ud

4. Kitab Ikhtilaf Malik was Syafi’i

5. Kitab Jima’il ‘Ilm

6. Kitab Bayan Faraidhillah

7. Kitab Shifati Nahyi Rasulillah

8.  Kitab Ibthalil Istihsan

9. Kitab ar-Radd ‘Ala Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany

10. Kitab Siyaril Auzai.

Semua karya-karya Imam Syafi’i sebagaimana telah kami sebutkan di atas telah ditahkik dengan sangat bagus dan lengkap oleh DR. Ahmad Badruddin Hasun dengan judul Mausu’ah al-Imam asy-Syafi’i . Kitab tahkiknya ini awalnya adalah risalah Dukturah beliau yang diajukan ke Jami’ah Islamiyyah di Karachi Pakistan. Kitab ini dicetak pertama kali oleh Dar Qutaibah di Beirut pada tahun 1996 dalam 15 Juz yang dikumpulkan dalam 10 Jilid besar. Hemat kami, buku tahkikan DR. Ahmad Badruddin Hasun terhadap kitab al-Umm ini adalah yang paling baik dan paling lengkap dalam segi tahkikan dan kekayaan maklumat yang dikandungnya apabila dibandingkan dengan tahkikan lainnya.

Kitab-kitab karya Imam Syafi’i di atas sangatlah penting dan merupakan marja’ primer bagi mereka yang hendak mengkaji fiqh madzhab Syafi’i. Ketika anda hendak mengetahui bagaiman pendapat Imam Syafi’i dalam suatu hal masalah fiqh, maka anda harus kembali kepada kitab-kitab karya Imam Syafi’i di atas yang sudah dirangkum oleh DR. Ahmad Badruddin Hasun dalam karyanya berjudul Mausu’ah al-Imam asy-Syafi’i .

Apabila anda kaji, seringkali terjadi kesalahan dalam menisbatkan sebuah hukum kepada madzhab Syafi’i. Seringkali ulama Syafi’iyyah mengatakan bahwa demikian menurut Imam Syafi’i, padahal sesungguhnya tidak seperti itu. Untuk mengambil salah satu contoh, berikut ini kami kemukakan apa yang dituturkan oleh DR. Umar Sulaiman al-Asyqar dalam kitabnya Masail min Fiqh al-Kitab was Sunnah. Dalam buku ini Sulaiman al-Asyqar mengatakan bahwa sebagian ulama Syafi’iyyah telah salah dalam menisbahkan pendapat hukum kepada Imam Syafi’i, di mana mereka mengatakan bahwa menurut Imam Syafi’i, orang yang mengetahui letak Ka’bah (kiblat) maupun yang tidak mengetahui, harus beribadah tepat menghadap Ka’bah. Padahal dalam kitab al-Umm, dengan tegas-tegas Imam Syafi’i berkata bahwa bagi yang tidak mengetahui di mana letak Ka’bah cukup dengan keyakinannya saja terhadap letak Ka’bah tersebut. Seandainya tidak tepat sekalipun tidak mengapa.

Oleh karena itu, sekali lagi, apabila anda hendak mengkaji bagaimana pendapat Imam Syaf’i dalam satu hal, anda tidak boleh melirik kitab lain, tapi kembalikan kepada kitab primernya berupa karya-karya Imam Syafi’i sebagaimana telah disebutkan di atas.

Namun, satu hal yang perlu kami tambahkan di sini, bahwa untuk membantu pengkajian anda terhadap kitab al-Umm ini, anda perlu juga membaca kitab lainnya yakni kitab Ma’rifatus Sunan wal Atsar karya Imam al-Hafidz al-Baihaqi. Kitab ini sangat berguna untuk mengetahui dalil-dalil Imam Syafi’i terutama dalil-dalil dari Sunnah dan Atsar serta bagaimana kedudukan haditsnya dan sanadnya. Hal ini dikarenakan, dalam kitab al-Umm, tidak ada perincian seperti di atas. Terkadang, dalam kitab al-Umm tidak disebutkan dalilnya, tapi langsung hukumnya. Nah, untuk mengetahui apa dalil Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum tersebut, atau bagaimana kedudukan hadits yang disebutkan Imam Syafi’i dalam al-Umm ini, serta bagaimana sanad hadits yang dituturkan Imam Syafi’i dalam al-Umm, anda dapat melihat kitab Ma’rifatus Sunan wal Atsar karya Imam Baihaqi tersebut. Kitab ini dicetak oleh Darul Kutub Ilmiyyah Beirut dengan muhakik Sayyid Karwi Hasan, dan tahkikan ini hemat kami yang paling bagus apabila dibandingkan dengan tahkikan lainnya.

2. Karya-karya Tokoh Ulama Syafi’iyyah generasi pertama setelah Imam Syafi’i

Yang dimaksud dengan tokoh Syafi’iyyah generasi pertama di sini adalah untuk menyebut dua imam besar madzhab Syafi’i yakni Imam Rafi’i (557-623H) dan Imam Nawawi (631-676 H).

Karya-karya dua imam ini dalam madzhab Syafi’i mempunyai kedudukan sangat penting. Bahkan, boleh dikatakan kedua terpenting dalam madzhab Syafi’i setelah karya-karya Imam Syafi’i. Artinya, ketika anda hendak mengetahui bagaimana pendapat Madzhab Syafi’i (bukan pendapat Imam Syafi’i ) tentang sebuah masalah, maka hendaknya ia melihat karya-karya dua imam ini. Dengan melihat karya-karya dua imam ini, anda tidak perlu melihat kitab-kitab fiqh lainnya. Mengapa karya kedua imam ini begitu penting? Karena sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa kedua imam inilah yang mempunyai peranan sangat besar dalam pengembangan madzhab Syafi’i . Jadi, sekali lagi ketika anda hendak melihat bagaimana pendapat madzhab Syafi’i tentang satu masalah, anda cukup melihat karya-karya kedua imam tersebut.

Apabila kedua imam tersebut sepakat dan tidak berbeda pendapat dalam satu masalah, maka pendapat itulah yang dipandang sebagai pendapat yang abash sebagai madzhab Syafi’i . Namun, apabila antara Imam Rafi’i dengan Imam Nawawi berbeda pendapat dan tidak mungkin dapat digabungkan kedua pendapat tersebut, atau keduanya tidak dapat dicari mana yang paling rajih, atau dapat diketahui mana yang paling rajih akan tetapi kedua pendapat tersebut sama, maka yang harus didahulukan adalah pendapatnya Imam Nawawi. Dalam hal ini Ibnu Hajar al-Haitami (w 974 H) pernah mengatakan dalam mukaddimah kitabnya Tuhfatul Muhtaj bi Syarh al-Minhaj:

الذى أطبق عليه المحققون أن المعتمد ما اتفقا الشيخان عليه, فإن اختلفا ولم يوجد لهما مرجح أو وجد ولكن على السواء, فالمعتمد ما قاله النووى وإن وجد لأحدهما دون الأخر فالمعتمد ذو الترجيح    .

Mengingat pentingnya karya-karya dua imam dimaksud, berikut ini kami ketengahkan karya-karya keduanya.

A. Karya-karya Imam Abdul Karim bin Muhammad ar-Rafi’i

1) Kitab al-Muharrar. Kitab ini sampai saat ini masih berbentuk makhtutat, manuskrip dan belum ditahkik serta belum dicetak. Barangkali di antara sebab belum ditahkik dan belum dicetaknya lantaran sudah terwakili oleh kitab Minhajut Thalibin yang merupakan ringkasan dari Kitab al-Muharrar tersebut. Dan sebagaimana telah kami tuturkan di atas, bahwa kitab al-Minhaj ini sangat masyhur di kalangan para ulama Syafi’iyyah dan sangat banyak syarahnya. Untuk itulah kitab al-Muharrar belum dicetak dan belum ditahkik sampai saat ini.

2) Kitab asy-Syarhus Shaghir. Kitab ini merupakan syarah terhadap kitab Imam al-Ghazali yang berjudul al-Wajiz. Kitab ini, sudah ditahkik oleh mahasiswa magister Jami’ah al-Jinan al-Lubnaniyyah, hanya saja sampai saat ini belum dicetak.

3) Kitab al-Aziz Syarh al-Wajiz atau asy-Syarh al-Kabir. Kitab ini merupakan kitab terpenting dan terbesar dari karya Imam Rafi’i. Buku ini merupakan syarah dari buku al-Wajiz karya Imam al-Ghazali, dengan syarah yang sangat luas dan panjang. Dalam penjabarannya, Imam Rafi’i dalam buku ini terlebih dahulu menjelaskan persoalan, kemudian kaitannya dengan pendapat Imam Syafi’i serta pendapat para ashhabnya, kemudian diakhiri dengan pemilihan mana yang dipandang sebagai madzhab Syafi’i. Kitab ini ditahkik oleh Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwad serta dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah pada tahun 1997.

Mengingat pentingnya kitab ini, Imam Nawawi dalam mukaddimah kitabnya Raudhah ath-Thalibin (I/47) pernah berkata:

ونقح المذهب أحسن التنقيح, وجمع منتشره بعبارات وجيزات, وحوى جميع ما وقع له من الكتب المشهورات…فأتى فى كتابه شرح الوجيز بما لا كبير مزيد عليه من الاستيعاب, مع الإيجاز والإتقان وإيضاح العبارات, فشكر الله الكريم له سعيه, وأعظم له المثوبات    …

B. Karya-karya Imam Nawawi

Imam Nawawi menyusun banyak kitab fiqh dalam Madzhab Syafi’i . Di antara karyanya itu ada yang hilang ada juga yang masih ada sampai sekarang. Di antara yang sudah hilang adalah karyanya berjudul Ruhul Masail fil Furu’ dan ‘Uyun al-Masail al-Muhimmah. Sementara kitab-kitabnya yang masih ada yang dipandang sangat penting, adalah:

1) Kitab Minhajut Thalibin. Kitab ini merupakan ringkasan dari Kitab al-Muharrar karya Imam Rafi’i. Kitab Minhajut Thalibin ini dinilai kitab yang sangat penting bahkan terpenting di antara kitab-kitab periode pertama Madzhab Syafi’i. Umumnya, kitab ini menjadi rujukan utama para ulama Syafi’iyyah dalam menetapkan sebuah persoalan. Oleh karena itu, kitab ini mempunyai syarah dan hawasyi yang sangat banyak. Di antara syarah terhadap kitab ini adalah Mughnil Muhtaj karya al-Khatib asy-Syarbini, al-Manhaj wa Syarhuh karya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari, Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al-Haitami, dan Nihayatul Muhtaj karya Imam ar-Ramli.

2) Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin. Kitab ini merupakan ringkasan dari kitab al-Aziz Syarh al-Wajiz karya Imam Rafi’i. Kitab ini lebih tebal dari pada kitab Minhajut Thalibin di atas.

3) Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab. Kitab ini merupakan buku terbesar dan terpenting dari karya Imam Nawawi. Kitab ini merupakan syarah dari kitab al-Muhadzab karya Abu Ishak as-Syairazi (w 476) sekaligus sebagai kitab syarah paling terkenal dan paling bagus dari pada syarah-syarah al-Muhadzab lainnya. Kitab ini sangat tebal terdiri tidak kurang dari 30 jilid lebih. Dalam kitab ini Imam Nawawi bukan semata mengungkapkan pendapat Madzhab Syafi’i, akan tetapi juga membandingkannya dengan madzhab-madzhab lainnya yang tentunya disertai dengan munaqasyah dan rad-rad (sanggahan-sanggahan) tajam.

Hanya saja, Imam Nawawi meninggal sebelum beliau menyelesaikan kitab al-Majmu ini. Imam Nawawi menulis kitab ini hanya sampai pada Bab Riba dari Kitab al-Buyu’. Kemudian Imam Taqiyuddin as-Subuki (w 756) mencoba melengkapinya, hanya saja belum sampai selesai kitab al-Majmu’ tersebut, ajal lebih dahulu merenggutnya. Beliau hanya dapat melengkapi sekitar tiga jilid saja. Setelah Taqiyuddin al-Subuki meninggal, baru para ulama Syafi’iyyah bangkit mencoba melengkapinya. Di antara para ulama yang melengkapi kitab al-Majmu’ ini adalah al-Allamah Isa bin Yusuf Mannun (w 1376 H) dan Muhammad Najib al-Muthi’i (w 1406 H). Kitab al-Majmu’ ini adalah kitab terakhir Imam Nawawi.

Meski demikian, para ulama Syafi’iyyah berikutnya, ketika mereka hendak menetapkan sebuah persoalan berdasarkan Madzhab Syafi’i dari karya-karya Imam Nawawi, mereka lebih banyak berpegang kepada Minhajut Thalibin dan Raudhatut Thalibin dari pada kepada al-Majmu’. Hal ini barangkali di antaranya disebabkan bahwa kitab al-Majmu’ ditulis bukan oleh Imam Nawawi secara lengkap, akan tetapi juga ditulis oleh ulama-ulama lainnya sebagaimana telah disebutkan di atas. Oleh karenanya, mereka menilai, kitab al-Majmu’ bukan karya asli Imam Nawawi dan karenanya kurang mendapatkan perhatian dari para ulama Syafi’iyyah berikutnya.

4) Syarah Shahih Muslim. Imam Nawawi juga mensyarah kitab Shahih Muslim dalam karyanya berjudul al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajaj. Kitab ini dinilai sebagai kitab syarah terpenting dan terbaik juga lebih terkenal dari pada syarah-syarah lainnya terhadap Shahih Muslim. Kitab ini dicetak beberapa kali cetakan dan oleh beberapa penerbit. Hanya saja, yang kami pandang lebih baik tahkikannya adalah yang dicetak oleh Dar Ihya at-Turats al-Arabi yang berikan nomor oleh Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi’, ditahkik oleh Syaikh Irfan Hasunah dan diberi kata pengantar oleh DR Muhammad al-Mar’isyli. Hanya saja kitab ini lebih tepat disebut sebagai kitab hadits bukan sebagai buku fiqh. Namun demikian, buku ini juga dipandang penting manakala hadits-hadits tersebut berkaitan dengan masalah fiqh.

Bagaimana cara mentarjih antara aqwal dalam madzhab Syafi’i .

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa pendapat Imam Syafi’i (al-aqwal) terkadang lebih dari satu demikian juga dengan pendapat para ulama Syafi’iyyah generasi awal (al-aujuh). Untuk itu, dibutuhkan upaya tarjih di antara pendapat-pendapat tersebut. Upaya untuk mentarjih aqwal tersebut telah dilakukan oleh dua Imam besar yakni Imam Rafi’i dan Imam Nawawi. Artinya, kini kita lebih mudah dan sedikit gampang. Apabila hendak melihat pendapat mana yang lebih dipandang sebagai pendapat madzhab Syafi’i, anda tinggal melihat hasil tarjih dari Imam Rafi’i dan Imam Nawawi. Apabila antara Imam Rafi’i dan Imam Nawawi terjadi pertentangan dan tidak dapat digabungkan juga tidak dapat ditarjih, maka apa yang diungkapkan oleh Imam Nawawi lebih didahulukan daripada hasil tarjih Imam Rafi’i. Lantas apa yang dipakai oleh Imam Nawawi dalam mentarjih aqwal tersebut?

Berikut ini ringkasan penuturan Imam Nawawi dalam mukaddimah kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, mengenai metode tarjih yang dipakainya apabila terjadi perbedaan di antara aqwal tersebut:

1. Pendapat Imam Syafi’i yang tidak bertentangan dengan dalil baik pendapat lama (al-qaul al-qadim) maupun pendapat baru (al-qaul al-jadid) adalah yang diambil sebagai pendapat Madzhab Syafi’i . Hal ini dikarenakan Imam Syafi’i pernah berkata:

إذا وجدتم فى كتابى خلاف سنة رسول الله فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا قولى

2. Qaul Jadid Imam Syafi’i dipandang sebagai Madzhab Syafi’i apabila secara terang-terangan bertentangan dengan qaul qadim. Namun, apabila qaul jadid tidak bertentangan dengan qaul qadim, atau tidak diketemukan pendapat Imam Syafi’i dalam qaul jadid, hanya ada dalam qaul qadim, maka qaul qadim itulah yang dipandang sebagai madzhab Syafi’i dan itulah yang harus dijadikan pijakan dalam berfatwa.

3. Apabila ada dua pendapat Imam Syafi’i yang sama baik dari segi baru, lama atau dalilnya, maka ambillah pendapat yang paling akhir dari kedua pendapat tersebut, apabila diketahui pendapat mana yang paling akhir. Namun, apabila tidak diketahui pendapat yang paling akhir, maka ambil pendapat yang ditarjih sendiri oleh Imam Syafi’i .

4. Apabila pendapat-pendapat Imam Syafi’i tersebut tidak diketahui mana yang murajjah dan mana yang murajjihnya, baik dari segi qadim jadidnya atau dari sisi tidak ada tarjih sama sekali dari Imam Syafi’i , maka harus dicari mana yang paling rajih dengan jalan disesuaikan dengan nash-nash dari Imam Syafi’i lainnya, metode dan kaidah pengambilan hukumnya serta ushul-ushul yang biasa dipakai oleh Imam Syafi’i .

Untuk lebih memudahkan ketika anda hendak mengkaji bagaimana pendapat tentang satu masalah menurut Madzhab Syafi’i, berikut ini kami ringkaskan dalam bentuk situasi yang mana hemat kami masalah tersebut tidak akan lepas dari lima keadaan berikut ini:

1. Jika masalah yang dicari ketetapan hukumnya dalam Madzhab Syafi’i adalah pendapat Imam Rafi’i maka kitab  yang harus anda jadikan rujukan adalah karya-karya Imam Rafi’i.

2. Jika masalah yang dicari ketetapan hukumnya dalam Madzhab Syafi’i adalah pendapat  Imam Nawawi maka kitab  yang harus anda jadikan rujukan adalah karya-karya Imam Nawawi.

3. Jika masalah yang dicari ketetapan hukumnya dalam Madzhab Syafi’i adalah pendapat antara Imam Nawawi dan Imam Rafi’i sepakat mengenai hukumnya  maka kitab  yang harus anda jadikan rujukan adalah karya-karya Imam Rafi’i dan Imam Nawawi dan keduanya dipandang mempunyai kekuatan dan tingkatan yang sama.

4. Jika masalah yang dicari ketetapan hukumnya dalam Madzhab Syafi’i adalah pendapat antara Imam Rafi’i dan Imam Nawawi berbeda pendapat maka kitab  yang harus anda jadikan rujukan adalah karya-karya fiqh Imam Nawawi harus lebih didahulukan.

5. Jika masalah yang dicari ketetapan hukumnya dalam Madzhab Syafi’i baik Imam Rafi’i maupun Imam Nawawi tidak membahas persoalan tersebut, atau membahasnya namun terlalu ringkas dan sedikit maka kitab  yang harus anda jadikan rujukan adalah karya-karya para ulama Syafi’iyyah generasi kedua sebagaimana akan dibahas di bawah ini.

3. Karya-karya para ulama Syafi’iyyah generasi kedua

Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang karya-karya pada generasi ini, terlebih dahulu perlu kami kemukakan apa yang dimaksud dengan karya-karya para ulama Syafi’iyyah generasi kedua dalam tulisan ini. Dimaksudkan dengan karya-karya para ulama Syafi’iyyah generasi kedua ini adalah masa munculnya dua Imam besar yakni Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H) dan Syamsud Din Muhammad ar-Ramli (w 1004 H). Kedua imam ini kami jadikan sub tersendiri mengingat penting dan besarnya sumbangsih keduanya dalam meneruskan pengembangan dan perluasan madzhab Syafi’i setelah sebelumnya dipelopori oleh Imam Rafi’i dan Imam Nawawi. Besarnya sumbangsih kedua Imam ini terutama dengan syarah keduanya terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi. Untuk tidak memperbanyak kalam, berikut ini di antara karya kedua imam dimaksud.

1. Tuhfatul Muhtaj bi Syarh al-Minhaj. Kitab ini ditulis oleh Imam Ibn Hajar al-Haitami sebagai syarah terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi. Kitab ini dicetak beberapa kali dan mempunyai dua hasyiyah yaitu Hasyiyah al-Allamah Ahmad bin Qasim al-Ubady (w 994 H) dan Hasyiyah al-Allamah Abdul Hamid asy-Syarwany. Buku ini di antaranya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dengan muhaqiq Syaikh Muhammad Abdul Aziz al-Khalidy—dan tahkikan beliau hemat kami lebih bagus dan lebih lengkap.

2. Nihayatul Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj. Kitab ini juga merupakan syarah dari kitab Minhajut Thalibin Imam Nawawi yang ditulis oleh Imam Syamsud Din ar-Ramly. Kitab ini juga dicetak beberapa kali serta mempunyai dua hasyiyah yakni Hasyiyah al-Allamah Nurud Din Ali bin Ali asy-Syibramalisi (w 1087 H) dan Hasyiyah al-Allamah Ahmad Abdur Razaq yang dikenal dengan sebutan al-Maghriby ar-Rasyidy (w 1096 H)

Baik kitab Tuhfatul Muhtaj maupun Nihayatul Muhtaj merupakan dua buah kitab yang banyak dijadikan pegangan oleh ulama Syafi’iyyah dalam menetapkan hukum sebuah persoalan atau dalam berfatwa setelah masa Imam Nawawi.

Apabila kitab - kitab karya al-Haitami dan ar-Ramli tidak membahas satu persoalan atau membahasnya tapi terlalu singkat, maka yang banyak diambil oleh ulama Syafi’iyyah generasi akhir adalah karya-karya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari (w 926 H), khususnya kitab al-Manhaj yakni kitab ringkasan dari Kitab Minhajut Thalibin dan kitab al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh Mandhumatil Buhjah al-Wardiyyah—kedua kitab tersebut telah dicetak. Setelah buku-buku Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari, kitab berikutnya yang dipandang primer dalam madzhab Syafi’i adalah Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadh al-Minhaj karya al-Khatib asy-Syarbini (w 977) yang juga merupakan syarah terhadap kitab Minhajut Thalibin. Kitab ini juga dicetak dan sangat terkenal di kalangan madzhab Syafi’i, termasuk dijadikan referensi utama di lingkungan Universitas al-Azhar fakultas Syariah Islamiyyah. Setelah kitab Mughnil Muhtaj, maraji’ fiqh Syafi’i berikutnya adalah kitab - kitab hasyiyah (hasyiyah adalah syarah dari buku syarah) misalnya hawasyi yang telah disebutkan di atas, juga hasyiyah Qalyuby Umairah karya Syaikh Syihabuddin al-Qalyubi dan Syaikh Umairah yang merupakan syarah dari syarah Imam Jalaluddin al-Mahally terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi.

Persoalan berikutnya, bagaimana apabila antara Imam Ibnu Hajar al-Haitami dengan Imam Syamsuddin ar-Ramli terjadi perbedaan pendapat? Sebagaimana antara Imam Rafi’i dan Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar al-Haitami dan Imam Syamsuddin ar-Ramli juga terkadang terjadi perbedaan pendapat, hanya saja perbedaan tersebut tidak sebanyak perbedaan antara Imam Nawawi dengan Imam Rafi’i. Apabila terjadi perbedaan, mana yang harus didahulukan? Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat antara ulama Mesir dengan ulama Hijaz. Bagi ulama Mesir, maka pendapat ar-Ramli yang harus didahulukan khususnya apa yang tertera dalam kitabnya, Nihayatul Muhtaj. Hal ini karena kitab tersebut telah disodorkan, dibaca, diminta kritik serta dibetulkan oleh pengarangnya sendiri kepada 400 ulama. Sehingga dengan demikian, keabsahan kitab tersebut dapat dikatakan mutawatir dan karenanya harus lebih didahulukan dari pada yang lainnya.

Sedangkan bagi ulama Hijaz, Hadramaut, Syam, Yaman, bahwa yang harus diambil manakala terjadi perbedaan antara ar-Ramli dengan al-Haitami adalah pendapat Ibn Hajar al-Haitami khususnya yang tercantum dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj. Hal ini dikarenakan kitab tersebut mencakup juga nushush dari Imam al-Haramain al-Juwaini.

Meski demikian, apa yang diungkapakan oleh al-Allamah Umar al-Bashri dalam al-Fawaid al-Makkiyyah (hal 38) berikut ini, hemat kami lebih tepat untuk dijadikan pegangan, bahwa apabila antara ar-Ramli dengan al-Haitami terjadi pertentangan pendapat, apabila mufti tersebut termasuk ulama yang dapat mentarjih, maka ambillah pendapat yang menurutnya lebih kuat. Namun, apabila bukan termasuk ulama tarjih, maka ia boleh mengambil pendapat mana saja menurut kehendaknya, atau mengambil kedua-duanya, atau mengambil hasil tarjih dari ulama muta’akhir. Umar al-Bashri juga melanjutkan, seorang mufti juga perlu memperhatikan mustaftinya. Apabila mustaftinya (yang meminta fatwa) adalah orang-orang yang kuat, maka ambil pendapat yang sedikit memberatkan. Namun, apabila mustaftinya orang yang lemah, maka ambil pendapat yang paling ringan dan memudahkan.

Soal berikutnya, apabila hendak mencari bagaimana pendapat yang mu’tamad menurut ulama Syafi’iyyah terhadap satu persoalan, apakah cukup dan dipandang sah apabila hanya merujuk kepada dua buah kitab Tuhfatul Muhtaj dan Nihayatul Muhtaj atau salah satunya saja jika persoalan yang dicari memang dibahas dalam dua buah kitab tersebut tanpa melihat dan merujuk kepada karya-karya Imam Rafi’i dan Imam Nawawi? Untuk menjawab persoalan ini, hemat penulis, anda boleh dan cukup hanya berpegang kepada dua buah kitab tersebut. Hanya saja, ketika anda mau melihat buku karya Imam Nawawi dan Imam ar-Rafi’i, tentu itu lebih baik karena akan menambah wawasan dan dalil serta penguat lainnya. Bahkan dengan mengkaji karya Imam Nawawi dan Rafi’i juga, besar kemungkinan akan dapat menghindari kesalahan dan kekeliruan.

Mengapa merujuk dua kitab di atas dipandang cukup? Untuk menjawab pertanyaan ini, kami  akan sodorkan dua hal penting:

1. Banyak para ulama Syafi’iyyah setelah masa Imam ar-Ramli yang memuji dengan sangat kehebatan dan keunggulan dua buah kitab tersebut yakni at-Tuhfah dan an-Nihayah. Sehingga para ulama Syafi’iyyah menjadikannya sebagai pegangan utama ketika mereka berfatwa. Salah satu ulama Syafi’iyyah yang memuji tersebut adalah al-Alamah Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi asy-Syafi’i (w 1194 H) dalam kitabnya berjudul al-Fawaid al-Madaniyyah Fiman Yufta Biqaulihi Min Aimmah asy-Syafi’iyyah sebagaimana dikutip dalam buku at-Tahdzib fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i karya Imam al-Baghawi (I/50-51). Untuk lebih jelasnya berikut ungkapan beliau:

ذهب علماء مصر—أو أكثرهم—إلى اعتماد ما قاله الشيخ محمد الرملى فى كتبه خصوصا فى نهايته, لأنها قرئت على المؤلف إلى آخرها فى أربعمائة من العلماء فنقدوها وصححوها, فبلغت صحتها إلى حد التواتر, وأكثر علماء اليمن والحجاز إلى أن المعتمد ما قاله الشيخ ابن حجر فى كتبه بل فى تحفته, لما فيها من إحاطة بنصوص الإمام مع مزيد تتبع المؤلف فيها, ولقراءة الحققين لها عليه, الذين لا يحصون كثرة….هذا ما كان فى السالف من علماء الحجاز, ثم وردت علماء مصر إلى الحرمين وقرروا فى دروسهم معتمد الشيخ الرملي, إلى أن فشا قوله فيها, حتى صار من له إحاطة بقولهما يقررها من غير ترجيح…وعندى لا تجوز الفتوى بما يخالفها, بل بما يخالف التحفة والنهاية, إلا إذا لم يتعرضا له, فيفتى بكلام شيخ الإسلام (يقصد الشيخ زكريا الانصارى—توفى سنة 926هـ), ثم بكلام الخطيب (يقصد الخطيب الشربينى توفى سنة 977هـ    ).

2. Kedua Imam Ibn Hajar al-Haitami dan Syamsud Din ar-Ramli dalam kitabnya at-Tuhfah dan an-Nihayah, ketika membahas masalah-masalah fiqh, seringkali menyebut perbedaan pendapat antara Imam Rafi’i dan Imam Nawawi. Disamping karena usaha dan kejuhudan keduanya dalam menggali gagasan-gagasan dan pemikiran fiqh Imam Nawawi dan Rafi’i tidak diragukan lagi. Oleh karena itu, karya keduanya dipandang lumayan mewakili karya Imam Nawawi dan Rafi’i. Hanya saja, memang sekali lagi, mengkaji dan melihat ulang ke kitab-kitab Imam Nawawi dan Imam Rafi’i jauh lebih baik dan lebih menambah pengembangan dalil.

Kini marilah perhatikan ringkasan bahasan kelompok nomor tiga ini:

1.  Jika persoalan yang dicari adalah ketetapan hukum suatu persoalan menurut Madzhab Syafi’i maka kitab yang harus dijadikan rujukan adalah kitab Tuhfatul Muhtaj bi Syarh al-Minhaj karya Ibnu Hajar al-Haitami dan kitab Nihayatul Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj karya Imam ar-Ramli. Merujuk juga kepada karya-karya Imam Nawawi dan Imam Rafi’i lebih bagus, tapi tidak pun tidak mengapa.

2. Jika hukum suatu persoalan yang dicari apabila terjadi pertentangan antara Imam al-Haitami dengan Imam ar-Ramli maka kitab yang harus dijadikan rujukan adalah kitab-kitab  Tarjih, bila hal itu memungkinkan, kalau tidak, boleh diambil yang mana saja dengan memperhatikan mustaftinya (orang yang meminta fatwa).

3. Jika hukum suatu persoalan yang dicari apabila dalam kitab-kitab Imam al-Haitami dan ar-Ramli tidak membahas persoalan yang dicari atau bahasannya sangat singkat maka lihat dan bacalah karya-karya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari.

4. Jika hukum suatu persoalan yang dicari apabila bahasannya juga kurang lengkap atau tidak dibahas sama sekali maka lihat dan bacalah kitab Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifati Ma’ani Alfadh al-Minhaj karya al-Khatib asy-Syarbini.

5. Jika hukum suatu persoalan yang dicari apabila kurang lengkap juga atau bahasannya sedikit maka lihat dan bacalah kitab-kitab Hawasyi dari semua Syarah Minhajut Thalibin.

4. Karya-karya fiqh perbandingan (al-fiqh al-muqaran)

Apabila pada buku-buku fiqh sebelumnya berkaitan dengan bagaimana untuk mengetahui hukum atau pendapat suatu masalah dari sisi Madzhab Syafi’i, kini persoalannya, bagaimana kalau hendak mengetahui pendapat Madzhab Syafi’i juga pendapat madzhab lainnya dalam satu persoalan akan tetapi buku-buku tersebut dikarang oleh ulama Syafi’iyyah? Dengan bahasa lebih mudah, bagaimana kalau hendak mengetahui argumen-argumen ulama Syafi’iyyah ketika dihadapkan dengan pendapat-pendapat para ulama madzhab lainnya? Apa yang menjadi alasan dan dalil sehingga pendapat Syafi’iyyah lebih ‘dimenangkan’ dari pada madzhab lainnya?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, anda jangan melihat kitab-kitab sebelumnya. Boleh jadi anda akan mendapatkannya, hanya sedikit. Apabila anda ingin mendapatkannya secara gamblang dan lengkap, maka anda kini harus melirik kitab-kitab bermadzhab Syafi’i yang di dalamnya bukan semata mengungkapakan pendapat Syafi’iyyah akan tetapi juga madzhab fiqh lainnya. Kitab-kitab yang membandingkan juga me-rad (menyanggah) dan mentarjih kitab-kitab fiqh madzhab lainnya, pada masa lalu disebut dengan kitab yang berbicara tentang ilmul khilaf atau dalam istilah sekarang, al-fiqh al-muqaran, fiqh perbandingan. Jadi, kelebihan kitab ini, anda akan mendapatkan argument dan pendapat suatu persoalan yang bukan hanya bermadzhab Syafi’i, akan tetapi juga bermadzhab lainnya, selain Syafi’i . Untuk lebih mempesingkat kalam, berikut ini kitab-kitab fiqh Muqaran yang ditulis oleh ulama madzhab Syafi’i yang dapat anda jadikan rujukan. Kitab-kitab ini karena jelas ditulis oleh ulama bermadzhab Syafi’i , hampir semua persoalan “dimenangkan” oleh madzhab Syafi’i . Kitab-kitab dimaksud adalah:

a. Al-Hawi al-Kabir. Kitab ini ditulis oleh al-Imam Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi ( w 450 H) yang merupakan syarah dari kitab Mukhtashar al-Muzani karya Imam Muzani. Kitab ini merupakan syarah al-Mukhtashar yang sangat panjang. Di dalamnya dikemukakan pendapat-pendapat Imam Syafi’i, juga pendapat ashshab Imam Syafi’i berikut dalil-dalilnya serta dibandingkan dengan madzhab fiqh lainnya semisal dengan madzhab Malikiyyah, Hanabilah, Dhahiriyyah. Di akhir pembahasan, semua persoalan “dimenangkan” oleh madzhab Syafi’i. Kitab ini pertama kali dicetak sepengetahuan kami oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut tahun 1994 dalam 18 jilid besar dengan muhakkik Ali Muhammad Mu’awwad dan Adil Ahmad Abdul Maujud.

b. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab. Untuk maklumat mengenai kitab ini telah kami bahas di atas, silahkan merujuk ke bahasan sebelumnya.

c. Hilyatul Ulama fi Ma’rifati Madzahib al-Fuqaha. Kitab ini ditulis oleh Imam Saifud Din Abu Bakar Muhammad bin Ahmad asy-Syasyi al-Qaffal (w 507 H). Kitab ini bukan merupakan syarah atau ringkasan dari kitab-kitab sebelumnya. Kitab ini berdiri sendiri, dan sesuai dengan namanya, mencoba menjelaskan argument dan pendapat para ahli fiqh yang bukan semata dalam madzhab Syafi’i akan tetapi juga dalam madzhab-madzhab lainnya. Hanya saja, dalam kitab ini sedikit sekali menyantumkan dalil. Buku ini dicetak oleh Maktabah ar-Risalah Amman pada tahun (cetakan pertama) 1988 yang terdiri dari delapan jilid besar-besar.

5. Kitab-kitab Fiqh Madzhab Syafi’i yang berbicara tentang bab-bab / tema-tema tertentu.

Kitab-kitab ini adalah kitab-kitab madzhab Syafi’i akan tetapi hanya membahas tema-tema tertentu dan terbatas. Namun, kitab-kitab ini juga dipandang penting, terutama ketika anda hendak membahas dan hendak mengetahui lebih dalam tema yang dibahas oleh kitab tersebut. Misalnya, ketika anda hendak mengetahui tentang persoalan-persoalan yang menyangkut ilmu warits menurut madzhab Syafi’i, maka anda harus membaca buku Nihayatul Hidayah Ila Tahrir al-Kifayah fi Ilm al-Faraid. Untuk lebih jelasnya, berikut ini kitab-kitab bermadzhab Syafi’i yang membahas tema-tema tertentu.

1). Al-Ahkam as-Sulthaniyyah wal Wilayat ad-Diniyyah. Kitab ini dikarang oleh Imam Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi ( w 450 H). Kitab ini merupakan kitab madzhab Syafi’i paling populer yang berbicara tentang siyasah syar’iyyah. Dalam menyajikan persoalannya, Imam Mawardi dalam kitab ini mencoba mengetengahkan dengan model perbandingan (muqaranah). Buku ini terdiri dari dua puluh bab, di antaranya menjelaskan tentang hukum khilafah, wizarah, wilayah al-madhalim, qadha, hukum-hukum yang berkaitan dengan fai (sitaan), jizyah, kharaj dan lainnya.

2). Ghiyas al-Umam fit Tiyas adh-Dzulam. Kitab ini sering disingkat dengan nama al-Ghiyasi. Dikarang oleh Imam al-Haramain al-Juwaini (w 478 H) yang dipersembahkan untuk salah seorang menteri saat itu yang bergelar Ghiyas ad-Daulah Nidzam al-Mulk (w 485 H). Kitab ini hampir sama dengan buku al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya Imam Mawardi dari segi tema-tema yang dibahasnya, hanya saja kitab ini lebih menekankan pada pembahasan teori-teori khilafah Islamiyyah dan kejadian-kejadian masa silam. Kitab ini dicetak beberapa kali oleh beberapa penerbit, di antaranya pernah dicetak oleh Kuliyyah Syari’ah Jami’ah Qatar.

3) Adabul Qadha. Kitab ini seringkali disebut juga dengan nama ad-Durar al-Munadhamat fil Aqdiyyah wal Hukumat. Ditulis oleh sejarawan ternama al-Qadhi Syihabuddin Ibrahim bin Abdullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Abid Dam al-Hamawi (w 642 H). Kitab ini merupakan kitab terpenting dalam madzhab Syafi’i yang berbicara tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan dakwaan, bukti, saksi atau yang sering kita kenal sekarang dengan Ilmu Beracara di pengadilan. Kitab ini pernah ditahkik oleh DR. Muhyid Din Hilal Sarhan al-Iraqi untuk mengambil gelar duktur di Universitas al-Azhar fakultas Syari’ah dan dicetak di Beirut dalam dua jilid lumayan tebal.

4) Nihayatul Hidayah Ila Tahrir al-Kifayah fi Ilm al-Fara’id. Kitab ini ditulis oleh Syaikhul Islam Zakaria bin Muhammad al-Anshari (w 926 H). Kitab ini sesuai dengan namanya merupakan kitab yang berbicara tentang hukum warits Islam bermadzhab Syafi’i. Dan kitab ini, hemat kami merupakan buku yang sangat penting dalam mengkaji Ilmu Warits. Kitab ini dicetak oleh Dar Ibn Khuzaimah Riyadh, tahun 1420 H.

6. Kitab-kitab Madzhab Syafi’i yang tidak termasuk salah satu bagian dari lima kelompok sebelumnya.

Kitab-kitab ini adalah kitab-kitab bermadzhab Syafi’i juga, hanya saja bukan termasuk atau berkaitan dengan karya-karya Imam Nawawi, Imam Rafi’i atau Imam al-Haitami dan Imam ar-Ramli, juga bukan buku-buku tentang ilmul khilaf. Buku-buku ini sama dipandang penting, hanya tidak sepenting kitab-kitab sebelumnya. Kitab-kitab ini juga pernting dibaca sebagai bahan pengayaan dan penambahan wawasan serta hujjah. Kitab-kitab yang termasuk kelompok ini dibagi kepada dua bagian, yakni kitab-kitab yang dikarang sebelum karya-karya ulama Syafi’iyyah generasi kedua dan setelah generasi kedua.

          Pertama, kitab-kitab yang dikarang sebelum masa ulama Syafi’iyyah generasi kedua (sekitar setelah wafatnya Imam Syafi’i sampai abad ke-10 Hijriyyah) adalah:

 1. Al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i. Kitab ini dikarang oleh Imam Abu Ishak asy-Syairazi (w 476 H). Kitab ini dicetak beberapa kali oleh beberapa penerbit yang salah satunya dicetak oleh Darul Qalam Damaskus sebanyak enam jilid tebal-tebal dan ditahkik oleh Muhammad az-Zuhaili.

 2. Al-Wasith fil Madzhab. Kitab ini ditulis oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali (w 505 H) yang merupakan ringkasan dari kitabnya yang berjudul al-Basith dan al-Basith ini juga merupakan ringkasan dari kitab karya Imam al-Haramain al-Juwaini yang berjudul Nihayatul Mathlab fi Dirayah al-Madzhab. Buku ini juga telah dicetak beberapa kali di antaranya oleh Wizaratul Auqaf was Syu’un al-Islamiyyah, Qatar pada tahun 1993 yang ditahkik oleh DR Ali Muhyiyud Din al-Qurrah Dagi.

Kedua kitab tersebut yakni al-Muhadzab dan al-Wasith sempat dijadikan kitab terpenting yang menjadi rujukan para fuqaha Syafi’iyyah dalam memberikan fatwa sebelum munculnya karya-karya Imam Nawawi dan Imam Rafi’i. Setelah muncul dua imam tersebut, perhatian beralih kepada karya-karya keduanya, karena dipandang lebih lengkap dan lebih mendalam.

  3. Al-Wajiz fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i . Kitab ini juga dikarang oleh Imam Ghazali sebagai ikhtishar atas kitab sebelumnya yakni al-Wasith. Buku ini telah dicetak oleh Darul Kutub Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 dengan muhakkik Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwad.

 4. At-Tahdzib fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i . Kitab ini ditulis oleh Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi (w 516 H). Kitab ini dicetak oleh Darul Kutub Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 yang terdiri dari delapan jilid besar dengan muhakkik Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awwad.

 5. Ajalatul Muhtaj Ila Taujih al-Minhaj. Kitab ini ditulis oleh Imam Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Ali yang dikenal dengan samaran Ibn al-Mulaqqan (w 804 H). Kitab ini juga merupakan syarah Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi dan dicetak oleh Darul Kitab Jordan dalam empat jilid besar dengan muhakkik Ustadz Izzud Din Hisyam bin Abdul Karim al-Badrany pada tahun 2001.

 6. Kanzur Raghibin fi Syarh Minhajut Thalibin. Kitab ini ditulis oleh Imam Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli (w 864 H). Kitab ini terkenal dengan nama Syarah al-Muhalla ‘Alal Minhaj. Kitab ini juga dinilai sebagai salah satu kitab terpenting dalam syarah terhadap kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi dan senantiasa dijadikan rujukan oleh para ulama Syafi’iyyah sebelum datangnya dua buah syarah, Tuhfatul Muhtaj dan Nihayatul Muhtaj karya Imam al-Haitami dan ar-Ramli. Begitu datang dua syarah tersebut, kitab Syarah al-Muhalla kemudian ditinggalkan dan berpaling kepada dua syarah karya ar-Ramli dan al-Haitami. Kitab Syarah al-Muhalla ini menjadi muqarrar pada mata kuliah fiqh di Universitas al-Azhar asy-Syarif sampai saat makalah ini ditulis. Kitab ini mempunyai dua hasyiyah, yang pertama Hasyiyah Syihabuddin Ahmad al-Burullusy yang mempunyai nama panggilan Umairah (w 957 H) dan Hasyiyah Syihabuddin Ahmad bin Ahmad bin Salamah al-Qalyubi (w 1069 H). Keduanya terkenal dengan sebutan Hasyiyatai al-Qalyubi wa Umairah. Kitab ini beberapa kali dicetak dan yang penulis pandang lebih bagus adalah yang ditahkik oleh Syaikh Abdul Latif Abdur Rahman cetakan Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dalam lima jilid besar-besar. Dicetak pertama kali pada tahun 1997.

         Kedua, kitab-kitab yang ditulis setelah masa ulama Syafi’iyyah generasi kedua (dari tahun 1004 H-1335 H). Kitab-kitab yang termasuk kelompok ini adalah:

1. Futuhat al-Wahab bi Taudhih Syarh Manhaj at-Thulab. Kitab ini ditulis oleh al-Allamah Sulaiman bin Umar bin Manshur al-Ujaili yang terkenal dengan sebutan al-Jamal (w 1204 H). Kitab ini merupakan syarah dari kitab Syarah Manhajut Thulab. Dan kitab Manhajut Thulab ini merupakan ringkasan dari kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi. Baik kitab Manhaj at-Thulab maupun Syarahnya, keduanya ditulis oleh Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari (w 926 H). Jadi, kitab Futuhat al-Wahab bi Taudih Syarh Manhaj at-Thulab ini merupakan kitab Hasyiyah atas kitab Syarh al-Manhaj. Kitab Futuhat al-Wahab lebih dikenal dengan sebutan Hasyiyah al-Jamal. Kitab ini dicetak berulang-ulang, dan yang paling baik, menurut penulis, adalah yang ditahkik oleh Syaikh Abdur Razaq Ghalib al-Mahdi yang dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut dalam delapan jilid tebal. Dicetak pertama kali pada tahun 1996.

2. Hasyiyah asy-Syarqawi. Kitab ini ditulis oleh al-Alamah Abdullah bin Hijazi bin Ibrahim asy-Syarqawi (w 1226 H) yang merupakan syarah dari kitab Tuhfatut Thullab bi Syarh Tahrir Tanqih al-Lubab. Kitab ini lebih dikenal dengan Hasyiyah asy-Syarqawi ‘ala Syarh at-Tahrir. Kitab Tahrir Tanqih al-Lubab merupakan ringkasan dari fiqh Syafi’i dan kemudian kitab tersebut disyarah dengan nama Tuhfatut Thulab. Baik kitab Tahrir Tanqih al-Lubab maupun kitab Tuhfatut Thulab, keduanya merupakan karya Syaikhul Islam Zakaria al-Anshari. Kitab ini di antaranya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut pada tahun 1997 dengan muhakkik Syaikh Mushtafa bin Hanafi ad-Dzahabi dalam empat jilid besar.

3. I’anatut Thalibin. Kitab ini ditulis oleh al-Alamah Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi al-Bikry (wafat pada abad ke 14 Hijriyyah, tidak diketahui tahun kewafatannya). Kitab ini juga merupakan kitab Hasyiyah terhadap kitab Fathul Mu’in yang merupakan syarah dari Kitab Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din. Kitab Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din merupakan ringkasan dari Fiqh Syafi’i . Syarah dari kitab Qurratul ‘Ain bi Muhimmatid Din adalah Fathul Mu’in, dan keduanya merupakan karya al-Allamah Zainuddin al-Mullibary (w 987 H). Kitab I’anatut Thalibin dicetak beberapa kali dan salah satunya dicetak oleh Darul Kutub al-Ilmiyyah Beirut pada tahun 1995 dalam empat jilid besar.

4. Tarsyih al-Mustafiidiin. Kitab ini juga merupakan kitab Hasyiyah ringkas yang ditulis oleh al-Allamah Alawy bin Ahmad bin Abdur Rahman as-Saqqaf al- Makky (w 1335 H). Kitab ini merupakan kitab Hasyiyah terhadap kitab Fathul Mu’in karya al-Mullibary—penjelasan mengenai kitab Fathul Mu’in ini lihat di nomor tiga. Kitab ini dicetak oleh Maktabah al-Ghazali Damaskus dalam satu jilid.

7. Karya-karya madzhab Syafi’i belakangan.

Pada bagian ini, kita akan berbicara tentang kitab-kitab yang ditulis seputar fiqh Syafi’i yang berkisar antara tahun 1335 H sampai sekarang 1426 H. Kitab-kitab yang berbicara tentang madzhab Syafi’i pada abad belakangan ini akan kami kemukakan, tentunya sepengetahuan kami yang sangat sederhana.

Namun sebelumnya, perlu kami kemukakan bahwa kitab-kitab fiqh Syafi’i yang ditulis belakangan ini mempunyai dua kelebihan: Pertama, bahasa dan susunanya mudah dipahami, jelas dan padat berisi tidak bertele-tele. Kedua, bahasan dan persoalan yang dikemukakan betul-betul yang terjadi saat ini, bukan sesuatu yang tidak terjadi lagi. Misalnya tidak adanya bahasan tentang perbudakan dan atau yang sejenisnya. Untuk lebih jelasnya, berikut ini kitab-kitab yang termasuk kelompok terakhir, abad belakangan, masa kini, di antaranya:

1). Zadul Muhtaj fi Syarh al-Minhaj. Kitab ini ditulis oleh Syaikh Abdullah bin Hasan Ali Hasan al-Kuhaji (w 1400 H) dan merupakan syarah dari kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi yang dalam penyusunannya berpegang kepada kitab Mughnil Muhtaj Ila Ma’rifat Ma’ani Alfadh al-Minhaj karya al-Khatib asy-Syarbini (w 977 H). Kitab ini terdiri dari empat jilid dan dicetak oleh al-Maktabah al-Ashriyyah Beirut dengan muhakkik Ustadz Abdullah al-Anshari.

2). Al-Fiqh al-Manhaji ‘Ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i . Kitab ini ditulis oleh tiga ulama besar Damaskus masa kini yaitu oleh DR. Mustafa Sa’id al-Khinn, DR. Mushtafa Dibul Bugha, dan Syaikh Ali asy-Syarbiji. Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1978 M, dan dicetak beberapa kali di antaranya oleh Darul Qalam Damaskus pada tahun 1998 (cetakan ketiga) dan terdiri dari tiga jilid.

3). Ad-Durar an-Naqiyyah fi Fiqh as-Sadah asy-Syafi’iyyah. Kitab ini ditulis oleh Syaikh Muhammad ash-Shadiq Qamhawi, salah seorang pengawas umum al-Azhar asy-Syarif Mesir. Kitab ini ditulis untuk dijadikan muqarrar bagi siswa tingkat Aliyah di Ma’had-ma’had al-Azhar. Kitab ini teleh dicetak beberapa kali di antaranya oleh al-Maktabah al-Azhariyyah lit Turats pada tahun 1997 yang terdiri dari empat jilid ukuran kecil.

4). Taisir Fathil Qarib al-Mujib lit Thalib al-Azhary an-Najib fi Shurah Sail wa Mujib. Kitab ini ditulis oleh dua ulama kenamaan Mesir saat ini yakni oleh DR. Nashr Farid Muhammad Washil, mantan mufti Jumhuriyyah Mesir sebelum Prof. DR. Ahmad Thayyib juga ketua jurusan Fiqh Islam Universitas al-Azhar dan DR. Abdul Hamid as-Sayyid Muhammad Abdul Hamid, dekan Ma’had I’dad ad-Du’ah di propinsi Qana, Mesir.Kitab ini ditulis juga untuk dijadikan muqarrar bagi siswa siswi Tsanawiyyah (menengah) di seluruh ma’had al-Azhar. Kitab ini dicetak oleh al-Maktabah al-Azhariyyah lit Turats, Kairo pada tahun 1996 yang terdiri dari tiga jilid kecil.

Istilah-Istilah dalam madzhab Syafi’i iyah

Para ulama Syafi’iyyah dalam kitab-kitabnya seringkali menggunakan beberapa istilah khusus. Terkadang ada beberapa istilah dalam satu buku madzhab Syafi’i yang makna dan maksudnya berbeda dengan apa yang ada dalam buku lain. Untuk mengetahui makna dari istilah-istilah dimaksud, anda dapat membacanya pada pendahuluan atau lembar-lembar awalnya. Biasanya di sana terdapat petunjuk praktis untuk hal tersebut. Penjelasan istilah-istialah di awal ini, misalnya anda dapat temukan dalam buku al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab karya Imam Nawawi. Namun, demikian, berikut ini adalah istilah-istilah yang digunakan hampir dalam semua buku fiqh Syafi’iyyah yang mempunyai pengertian dan maksud yang sama. Di antara istilah-istialah dimaksud adalah:

1. Al-Aqwal. Apabila anda mendapatkan kata al-qaul atau al-aqwal dalam buku-buku Syafi’iyyah, maka maksudnya adalah perkataan atau hasil ijtihad Imam Syafi’i, baik dalam qaul qadimnya maupun qaul jadidnya.

2. Al-Qaul al-Qadim, maksudnya adalah pedapat Imam Syafi’i sebelum pindah ke Mesir baik berupa karya maupun fatwa. Di antara para periwayat qaul qadim ini adalah Imam az-Za’farany, al-Karabisy dan Abu Tsaur. Jadi apabila anda mendapatkan pendapat Imam Syafi’i dari riwayat mereka, maka itu adalah pendapat lama Imam Syafi’i (qaul qadim).

3. Al-Qaul al-Jadid, adalah pendapat Imam Syafi’i ketika di Mesir, baik berupa karya buku maupun fatwa. Murid-murid Imam Syafi’i yang seringkali meriwayatkan qaul jadidnya ini di antaranya adalah: al-Buwaithi, al-Muzani dan ar-Rabi’ al-Muradi.

4. Al-Wujuh atau al-Aujuh, maksudnya adalah pendapat para ulama Syafi’iyyah berdasarkan kaidah-kaidah dan ushul Imam Syafi’i . Menurut Imam Nawawi, bahwa al-aujuh ini tidak dapat dinisbahkan kepada Imam Syafi’i , lantaran ia hanya pendapat ulama Syafi’iyyah saja.

5. At-Thuruq adalah istilah untuk perbedaan pendapat para ulama Syafi’iyyah dalam meriwayatkan madzhabnya. Misalnya, apabila dalam satu masalah, menurut satu ulama Syafi’iyyah, dalam masalah ini ada dua pendapat, sementara menurut ulama yang lain, hanya ada satu pendapat, menurut yang lainnya ada beberapa aujuh dan lainnya, maka perbedaan tersebut disebut dengan ath-thuruq.

6. Al-Adzhar, adalah pendapat yang paling rajih dari dua atau beberapa pendapat Imam Syafi’i. Jadi al-adzhar digunakan manakala ada dua atau beberapa pendapat Imam Syafi’i yang sama-sama kuatnya dari segi kekuatan dalilnya, akan tetapi salah satunya dapat ditarjih sehingga dipandang sebagai lebih kuat dari yang lainnya. Pendapat Imam Syafi’i yang dipandang lebih kuat ini disebut dengan al-adzhar, sedangkan pendapat sebaliknya yang tidak kuat disebut dengan ad-dzahir.

7. Al-Masyhur adalah apabila terjadi perbedaan antara dua pendapat atau lebih dari Imam Syafi’i, hanya saja perbedaan pendapatnya ini tidak kuat, lemah, karena dari segi kekuatan dalilnya kurang memenuhi misalnya, lalu dari beberapa pendapat tersebut ada yang dipandang lebih kuat, maka yang lebih kuat, rajihnya ini disebut dengan al-masyhur. Sebaliknya, pendapat yang tidak kuatnya disebut dengan al-gharib.

8. Al-Ashah. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat ulama Syafi’iyyah (al-aujuh), dan kedua pendapat yang bertentangan tersebut sama-sama kuat dari segi dalilnya, maka pendapat yang dipandang lebih rajih disebut dengan al-ashah. Sedangkan pendapat ulama Syafi’i yyah yang tidak kuatnya disebut dengan ash-shahih.

9. Ash-Shahih. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat ulama Syafi’iyyah (al-aujuh), namun kedua pendapat tersebut lemah dari segi kekuatan dalilnya, maka pendapat yang dipandang paling rajih disebut dengan ash-shahih, sementara sebaliknya, pendapat yang lemahnya disebut dengan adh-dha’if atau al-fasid.

10. Al-Madzhab. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara para ulama Syafi’iyyah dalam meriwayatkan madzhab Syafi’i (ath-thuruq), namun salah satunya dipandang sebagai yang lebih kuat, maka yang dipandang lebih kuat tersebut disebut dengan al-madzhab.

11. Al-Asybah. Apabila dalam satu masalah ada dua hukum yang didasarkan kepada Qiyas, akan tetapi salah satunya illatnya lebih kuat dari pada yang lain, maka yang lebih kuat illatnya ini disebut dengan al-asybah.

12. An-Nash adalah pendapat yang diambil langsung dari buku-buku karya Imam Syafi’i. Kebalikan dari an-nash adalah al-mukharraj. Al-Mukharraj adalah pendapat yang bukan dari Imam Syafi’i akan tetapi dari ulama Syafi’iyyah.

13. Al-Ashhab adalah para fuqaha Syafi’iyyah yang ilmunya sangat dalam dan luas sehingga mereka dapat beristinbath sendiri dalam hokum-hukum fiqih namun tetap berpegang kepada ushul Imam Syafi’i .

Beberapa istilah ulama Syafi’i yyah

Dalam buku-buku Syafi’iyyah, selain istilah-istilah fiqh, juga seringkali didapatkan laqab bagi para ulamanya. Hal ini tentu dimaksudkan selain untuk memudahkan, juga untuk menunjukkan penghormatan dan kedudukan ulama tersebut di kalangan madzhab Syafi’i . Di antara istilah-istilah ulama Syafi’i yyah dimaksud adalah:

1. Al-Imam. Apabila didapatkan kata al-Imam, maka maksudnya adalah Imam Haramain al-Juwaini (w 478 H)

2. Al-Qadhi, maksudnya adalah al-Qadhi Husain (w 462 H)

3. Al-Qadiyain maksudnya adalah Imam ar-Ruwiyani (w 502 H) dan Al-Mawardi (w 450).

4. Ar-Rabi’, maksudnya adalah ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, murid Imam Syafi’i (w 270 H).

5. Asy-Syarih al-Muhaqiq, maksudnya adalah Jalaluddin al-Mahally (w 864 H)

6. Asy-Syaikhaini, maksudnya adalah Imam an-Nawawi (w 676 H) dan Imam ar-Rafi’i (w 623 H)

7. Asy-Syuyukh, maksudnya adalah Imam Nawawi, Imam Rafi’i dan Taqiyuddin as-Subuki (w 756)

8. Apabila al-Khatib asy-Syarbini (w 977 H) dan Syamsuddin ar-Ramli (w 1004 H) dalam karya-karyanya mengatakan Syaikhul Islam, maka maksudnya adalah Imam Zakaria al-Anshari (w 926 H). Namun, apabila al-Khatib asy-Syarbini berkata Syaikhii, maksudnya adalah Syihabuddin ar-Ramli (w 957)

9. Apabila Imam Nawawi dalam bukunya al-Majmu’ berkata al-Qaffal, maksudnya adalah Imam al-Maruzi (w 417 H).

10. Apabila dalam kitab al-Muhadzab disebutkan istilah Abu Hamid, maka maksudnya adalah dua orang ulama yakni al-Qadhi Abu Hamid al-Maruzi Ahmad bin Basyar bin Amir (w 362 H) dan asy-Syaikh Abu Hamid al-Isfarayaini Ahmad bin Muhammad (w 406 H).

Kitab-kitab yang membahas istilah-istilah fiqh Syafi’i dan laqab, kunyah ulama Syafi’iyyah

Di antara kitab-kitab yang merupakan ma’ajim al-musthalahat al-fiqhiyyah dalam madzhab Syafi’i adalah:

1. Kitab Gharib al-Alfadz Allati ista’malaha al-Fuqaha karya asy-Syaikh Muhammad bin Ahmad bin al-Azhar al-Hirawy Abi Mansur (w 370 H). Kitab ini membahas maksud dari istilah-istilah sulit yang sering digunakan oleh para Fuqaha.

2. Tahdzib al-Asma wal Lughat, karya Imam Abu Zakariya Muhyiyud Din bin Syaraf an-Nawawi (w 676 H). Kitab ini menjelaskan istilah-istilah fiqh Syafi’i yang terdapat dalam enam buku fiqh Madzhab Syafi’i yakni Mukhtashar al-Muzani, al-Muhadzab, at-Tanbih, al-Wasith, al-Wajiz dan ar-Raudhah.

3. Al-Mishbah al-Munir fi Gharib asy-Syarh al-Kabir lir-Rafi’i, karya Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Fayumi (w 770 H). Kitab ini membahas dan menguraikan kejanggalan-kejanggalan di dalam kitab asy-Syarh al-Kabir.

Wallahu a’lam.

Kesempurnaan milik Allah dan kekurangan milik kami.