Televisi

Televisi sebenarnya adalah bagian dari kemajuan teknologi yang memiliki kemampuan lebih. Karena televisi bisa menyiarkan sebuah program ke banyak orang dalam waktu yang sangat cepat dan merata. Media televisi terdiri dari suara dan gambar yang bergerak. Sehingga memenuhi dua indera sekaligu yaitu penglihatan dan pendengaran. Dibandingkan dengan media cetak seperti koran dan majalah, televisi memiliki kelebihan. Karena bersuara dan juga bergambar dengan gerakan. Bahkan dibandingkan radio, televisi memiliki kelebihan dari segi gambar. Menurut para ahli jurnalistik, satu buah gambar akan lebih bercerita daripada seribu kata-kata. Apalagi gambar itu hidup dan bergerak serta bersuara. Selain itu televisi adalah media yang murah karena begitu seseorang memiliki televisi, praktis tidak ada pengeluaran rutin lagi. Kecuali bila berlangganan TV kabel atau parabola berlangganan. Bila dibandingkan dengan koran atau majalah yang harus dibeli dahulu baru bisa dinikmati, maka televisi tergolong media yang murah bahkan tanpa biaya. Sedemikian efektifnya televisi dalam menyampaikan pesan sehingga seorang Hitler sekalipun merasa perlu untuk memanfaatkan televisi dalam rangka menyebarkan pahamnya. Konon, siaran televisi secara resmi pertama kali mengudara adalah siara langsung pidato Hitler di depan massanya. Namun dibalik manfaatnya, membangun sebuah stasiun televisi lengkap dengan programnya bukan harga yang murah. Diperlukan investasi ratusan milyar untuk bisa mengudara secara nasional. Selain membutuhkan perizinan khusus, tekonologi yang mahal, juga diperlukan banyak sekali sumber daya manusia mulai dari programer, kameraman, penyiar hingga para wartawan televisi pencari berita. Ini belum termasuk para seniman dan pekerja di rumah-rumah produksi yang memproduksi paket-paket tayangan khusus televisi. Sehingga perusahaan yang berinvestasi di bidang pertelevisian haruslah perusahaan yang kuat terutama dari segi pendanaan. Dan bila sudah sampai titik itu, maka yang ada dalam pemikiran para pengusaha tidak lain adalah bagaimana memilirkan uangnya kembali, kalau bisa menguntungkan. Namun masalah ini tentu saja tidak mudah. Karena pemasukan sebuah statsiun televisi hanya mengandalkan dana dari iklan. Sehingga bisa dikatakan bahwa perusahaan yang mengiklankan produknya di televisi adalah ‘pemilik’ televisi tersebut. Mereka-lah yang menentukan apakah sebuah tayangan itu punya nilai jual atau tidak. Bila punya nilai jual maka mereka baru mau beriklan di spot itu dan bila tidak, maka jangan harap tayangan itu akan muncul di layar kaca. Sayangnya sampai hari ini insan pertelevisian dan juga para pengiklan masih belum memiliki tolok ukur yang baku dan akurat tentang nilai jual tersebut. Sehingga mereka hanya berpegang pada SRI (Survey Rating Indonesia). Data dari SRI inilah yang sekarang ini dijadikan patokan oleh mereka dalam menentukan nilai sebuah tayangan. Ukurannya terlalu sederhana, yaitu jumlah penonton yang menonton sebuah tayangan. Tanpa bisa membedakan detail para penonton itu baik dari segi usia, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal dan lainnya. Padahal dalam dunia periklanan, menentukan sasaran calon konsumen sangat penting dan menentukan. Sehingga berangkat dari sekedar sebuah asumsi sederhana itu, jadilah nilai rating suatu tayangan menentukan harga jual slot iklannya. Para pengusaha televisi saat ini hanya berpikir bagaimana iklan masuk sebanyak-banyaknya untuk membiayai tayangan yang kalau bisa diproduksi dengan biaya semurahmurahnya. Selisih dari kedua harga itu adalah keuntungannya. Jadi sekarang tititk masalahnya ada pada bagaimana membuat tayangan dengan biaya semurah mungkin tapi memiliki rating setinggi mungkin. Akibat mudah diduga, kualitas tayangan itu sudah tidak menjadi tujuan utama lagi. Dan dalam pola kehidupan yang permisif, logika ini menggiring mereka untuk memproduksi apa saja walau pun harus bertabrakan dengan kualitas tayangan itu sendiri baik dari sisi moral, etika, seni, estetika bahkan kalau perlu agama. Maka bertaburanlah tayangan-tayangan yang tidak mendidik seperti telenovela impor atau sinetron lokal yang ceritanya berputar-putar njelimet dan dipenuhi dengan tokoh jahat, cerita perselingkuhan, suami atau istri main serong hingga persekongkolan jahat. Sayangnya, semua itu pun tidak ditunjang dengan seni peran yang baik, sehingga sangat terasa dangkal, ditambah dengan pengambilan gambar yang terkesan asal jadi dan asal kejar tayang, akting yang tidak jelas dan sekian banyak keluhan lainnya dari para seniman film sejati. Kekonyolan tayangan televisi pun diperkuat dengan membeludaknya kuis-kuis yang hampir seragam, eksploitasi seksual yang semakin beragam dan merata hampir di semua televisi. Bahkan yang sekarang semakin menjamur di hampir semua televisi nasional adalah tayangan dari dunia hitam dan kriminalitas, dunia paranormal hingga berbagai macam bentuk pengobatan alternatif. Belum lagi ekploitasi tubuh wanita dan acara yang berbau pornografi yang juga mejadi menu hampir di semua televisi. Sayangnya langkah seperti ini kelihatan seragam di semua stasiun televisi nasional bahkan di manca negara. Lalau masalah hak pemirsa untuk mendapatkan program tayangan yang berkualitas menjadi terabaikan. Pemirsa televisi dianggap pasien yang pasrah menerima apa saja dan tidak akan pernah protes. Memang pada jam tertentu, ada juga tayangan yang berbau agama, seperti pada dini hari dimana masih ada slot waktu buat para tokoh agama untuk tampil sekitar setengah jam. Sayangnya, slot waktu itu bukanlah waktu yang banyak ditonton orang, karena terlalu pagi dan masih banyak yang asyik lelap di tempat tidur. Kalau pun ada yang nonton, maka hanya orangorang ‘shaleh’ saja yang masih sempat bangun pagi. Sedangkan slot waktu lainnya apalagi prime time jelas tidak menyisakan satu kesempatan pun untuk tayangan agamis. Memang benar di bulan Ramadhan hampir semua stasiun televisi kompak menampilkan syiar Islam, tapi bukan berarti tanpa kritik. Karena tokoh-tokoh yang tampil tidak lain itu-itu juga. Para artis yang setiap hari tampil membuka aurat tiba-tiba berkerudung dan pakai baju muslim. Habis lewat Ramadhannya, buka-bukaannya balik lagi. Wah … Hukum Menonton Acara Televisi Para ulama masa kini berbeda pendapat atas hukum menonton televisi ini. Penyebabnya adalah penilaian mereka terhadapt nilai-nilai negatif yang ada dalam tayangan itu sesuai dengan kondisi negara masing-masing. Mereka yang agak ketat menjaga dampak negatif itu umumnya melarang menonton acara televisi, paling tidak ini berlaku di beberapa pesantren yang memang tidak membolehkan para santri menonton televisi. Meski bukan merupakan bentuk pelarangan secara mutlak, namun umumnya pesantren itu melarang santrinya menonton televisi kecuali pada acara tertentu. Sebagian ulama lainnya membolehkan dengan syarat bahwa tayangan itu memang bisa dipilih yang benar-benar bermanfaat dan bermutu.